by M Rizal Fadillah
Memang kalau panik maka akan semrawut dalam berfikir dan bertindak. Seperti orang yang tenggelam maka segala akan dipegang dan ditendang. Setelah Pasukan Berani Mati Pembela Jokowi akan melaksanakan Apel Akbar di Tugu Proklamasi, kini muncul Pasukan Bawah Tanah Jokowi yang melaporkan atau mengadukan tokoh kritis Roy Suryo ke Bareskrim Mabes Polri. Aduannya adalah pembelaan Fufufafa Gibran. Roy katanya melanggar UU ITE.
Pasukan pertama mati sebelum membela. Mengumbar akan hadir 20 ribu anggota Pasukan ternyata yang ada di area hanya 19 orang. Balon yang mau ditiup besar, kempes dengan sendirinya. Sukodigdo sang komandan hilang di telan bumi. Sepi, mungkin rekening proyek proposal tidak terisi. Pasukan kedua yang menyebut Pasukan Bawah Tanah (Pasbata) Jokowi mencoba bermain hukum. Tapi dipastikan akan menjadi Pasukan Bunuh Diri Jokowi.
Adakah Pasukan Bawah Tanah Jokowi ini diketahui atau direstui atau di bawah komando langsung Jokowi ? Nama Jokowi jelas telah dipertaruhkan. Jika itu adalah catutan nama, maka Pasukan Bawah Tanah Jokowi ini akan segera terbenam di dalam tanah dengan sendirinya. Bila Jokowi terlibat, maka yang bunuh diri adalah Jokowi bersama-sama dengan Pasbata. Budianto sang Sekjen menjadi pembuat masalah itu.
Jokowi bunuh diri, Jokowi sekarat atau sekurangnya Jokowi kalut telah diberi sinyal oleh orang-orangnya, pendukung, atau pemujanya sendiri. Pasukan Bawah Tanah Jokowi adakah cacing-cacing beracun yang dapat membunuh Jokowi. Cacing adalah hewan yang hidupnya di bawah tanah. Gerakan cacing-cacing ini sangat merugikan Jokowi dan keluarga, khususnya bagi Gibran sang Fufufafa.
Tiga hal berat bagi Jokowi sebagai konsekuensi dari pengaduan Pasukan Bawah Tanah Jokowi ke Bareskrim Mabes Polri, yaitu :
Pertama, pengaduan bakal tenggelam di bawah tanah. Tidak ada kewajiban bagi Bareskrim untuk menindaklanjuti laporan Pabata Jokowi. Kualifikasinya bukan “Laporan” tetapi “Pengaduan Masyarakat” yang berbeda akan konsekuensi hukumnya.
Kedua, jika pihak Bareskrim memproses atas desakan politik, maka Gibran Rakabuming Raka akan diminta keterangan yang justru membuka borok atas keadaan-keadaan yang selama ini ditutupi. Masyarakat mendapat informasi atau tontonan baru yang lebih jelas, syur dan mencengangkan. Fufufafa tetap menjadi skandal.
Ketiga, Roy Suryo dengan cerdas menyatakan angka 99,99 % itu adalah keyakinan bukan tuduhan. Atas keyakinan itu maka hukum tidak akan bisa menyeret ke proses lebih lanjut. Sebaliknya, desakan agar Kepolisian segera memproses peristiwa Fufufafa dengan Gibran sebagai pesakitan, justru akan semakin kuat. Keyakinan Roy Suryo bertransformasi menjadi keyakinan rakyat.
Alih-alih Fufufafa akan menguap seperti harapan Jimly Ash Shiddiqie sebaliknya Fufufafa akan menjadi skandal terbesar yang dilakukan oleh seorang Wakil Presiden di negara besar yang bernama Indonesia. Dunia akan ikut menekan agar ada pemeriksaan fisik, kejiwaan dan keagamaan atas Gibran Rakabuming Raka bin Joko Widodo alias Mulyono.
Andai pengaduan Pabata Jokowi yang ecek-ecek sifatnya itu sampai diproses hukum oleh Mabes Polri, maka Mabes Polri akan segera didesak oleh Petisi-100 dan For-Asli Bandung agar segera memproses laporan atau pengaduan tindak pidana Nepotisme terdahulu yang dilakukan oleh Jokowi, Iriana, Gibran dan Anwar Usman. Keempatnya terancam penjara maksimal 12 (dua belas) tahun.
Laporan atau pengaduan Pasukan Bawah Tanah Jokowi ke Bareskrim Mabes Polri hanyalah gertak, cari muka dan geliat cacing kepanasan yang telah kehilangan jalan untuk kembali.
Ngono yo ngono, ning ojo ngono. Joko Widodo wis ga onok opo opo. Gibran semakin plonga plongo. Bravo Mas Roy Suryo.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 28 September 2024