Pengujian juga menggunakan stasiun drive-thru di mana 50 stasiun digunakan untuk menguji pasien tanpa meninggalkan mobilnya. Mereka juga diberikan kuisioner, pemindaian suhu jarak jauh dan swab tenggorokan. Setiap proses butuh waktu sekitar 10 menit. Hasil tes diperoleh dalam beberapa jam. Bandingkan dengan Indonesia, 2 sampai 3 hari baru diketahui hasil test.
Metode ketiga, pencarian kontak dan isolasi di mana jika seseorang dinyatakan positif, petugas kesehatan akan menelusuri kembali jejak perjalanan pasien dan mengujinya. Bahkan, jika perlu segera mengisolasi siapa pun yang melakukan kontak dengan pasien positif itu. Korsel telah mengembangkan alat dan tindakan pelacakan kontak agresif sejak MERS. Petugas kesehatan menelusuri pergerakan pasien dengan menggunakan rekaman kamera keamanan, catatan kartu kredit, hingga data GPS dari mobil dan ponsel, layaknya kerja seorang detektif. Saat wabah semakin meluas, pemerintah mengandalkan pesan massal untuk melakukan pelacakan secara intensif. Ponsel warga bergetar dengan peringatan darurat setiap kasus baru ditemukan di distrik mereka. Situs web dan aplikasi ponsel merinci jadwal perjalanan orang itu jam demi jam, terkadang menit demi menit. Bahkan, bus yang dinaiki, kapan, dan di mana mereka naik-turun, terdeteksi walaupun mereka memakai masker.
Warga Korsel mengikhlaskan hilangnya privasi demi kepentingan bersama. Mereka yang melakukan karantina mandiri diwajibkan mengunduh aplikasi yang memberitahu petugas jika nanti mereka keluar dari isolasi. Korsel menerapkan denda bagi pelanggar, sebesar 2.500 dollar AS. Di Indonesia, warga tidak mau ditest.
Keempat, pendaftaran warga yang menjadi sukarelawan kesehatan. Dahsyatnya, siaran televisi, pengumuman stasiun kereta bawah tanah, dan peringatan di ponsel pribadi tak pernah berhenti mengingatkan warga untuk mengenakan masker. Pesan di ponsel pribadi juga memberi petunjuk tentang social distancing dan data transmisi pada hari itu. Wajar kalau survei menunjukkan, mayoritas warga menyetujui dan yakin dengan upaya pemerintah untuk menangani virus China ini. Bahkan, pemerintah memberi intensif bagi warga yang tak bergejala, mau dites. Berbeda dengan Indonesia di mana mayoritas masyarakat tidak percaya kemampuan pemerintah menangani virus China ini.
Mungkinkah cara Korsel diadaptasi? Para ahli menyebutkan, Korsel berhasil karena pemerintah memiliki kemauan politik yang serius untuk melindungi rakyatnya. Sedangkan Indonesia, pemerintah lebih mengutamakan keselamatan usaha asing dan aseng. Buktinya, Presiden mendatangi mall milik 9 naga ketimbang ke masjid atau pasar induk. Persoalan kedua, kepercayaan publik Korsel sangat tinggi terhadap pemerintah. Di Indonesia, ada kalangan yang menyambut kebijakan new normal dengan goyonan, new president.
Rekonsiliasi atau Reorientasi. ?
Dua alternative menuntaskan virus China dan dampaknya. Pertama, rekonsiliasi nasional dengan memerhatikan aspirasi masyarakat yang ingin Sidang Umum Istimewa MPR, mema’zulkan presiden dengan mengikuti protokoler UUD 45. Menetapkan KH Ma’ruf Amin sebagai presiden dengan tugas melaksanakan Pilpres dalam waktu dua tahun.
Kedua, tidak ada pema’zulan presiden dengan cara: Menarik RUU Omnibus Law dan RUU HIP; Membatalkan UU No 2/2020 tentang Covid 19 dan UU Minerba; Menahan dan memroses Penyelanggara Negara yang terindikasi komunisme, marxisme, dan leninisme; Membebaskan pemuda, mahasiswa, ulama, dan aktivis yang ditangkap karena penyalahgunaan kekuasaan oleh penegak hukum. Semoga ! (end)
Depok, Jum’at Keramat, 12 Juni 2020.
Penulis: Abdullah Hehamahua adalah Ketua Bidang Politik, Hukum dan Pemerintahan MPUI
.(Jft/TribunAsia)