Nestapa Minyak Goreng: Lawan Kebijakan Pro Oligarki!

Penerimaan Negara

Selama dua tahun terkahir (Maret 2020 – Maret 2022) harga CPO telah naik dari Rp 7.920 per kg menjadi Rp 25.400 per kg. Sedangkan menurut Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), volume ekspor CPO periode Juli 2015 hingga Nov. 2021 adalah 18,49 hingga 40,77 juta ton, atau rata-rata ekspor 34,6 juta ton/tahun. Periode yang sama, rata-rata nilai ekspor (FOB) 20,86 miliar dolar AS/tahun dan pungutan ekspor rata-rata Rp 19,8 triliun/tahun.

Berdasarkan data di atas, maka selama 6 tahun (2015 hingga 2021) total nilai ekpsor sekitar 120 miliar dolar AS. Dari nilai ekpor ini, dengan asumsi biaya pokok produksi sekitar 400 dolar AS/ton, maka total keuntungan yang diperoleh produsen sebelum dipotong pajak ekspor adalah: 120 miliar dolar AS hingga (34,6 juta ton/tahun x 6 tahun x 400 dolar AS/ton) = 37 miliar dolar AS.

Jika diasumsikan total pajak ekspor, pungutan BPDPKS dan berbagai potongan lain yang diperoleh negara adalah 50 persen total keuntungan, maka keuntungan bersih pengusaha sawit adalah 50 persen x 37 miliar dolar AS = 18,5 miliar dolar AS atau sekitar Rp 264 triliun. Apakah selama 6 tahun terakhir realisasi penerimaan negara mencapai nilai sekitar Rp 264 triliun dari ekspor CPO? Hal ini perlu dibuktikan. Audit harus dilakukan.

Mengacu pada Pasal 33 UUD 1945, maka sebagai pemilik lahan, porsi yang diterima negara seharusnya lebih besar dari 50 persen dari keuntungan bersih. Jika skema pajak progresif yang diterapkan tidak adil, maka negara tidak akan memperoleh penerimaan yang seharusnya.

Apalagi jika terjadi praktik bernuansa moral hazard, maka negara sebagai pemilik lahan akhirnya akan memperoleh nilai yang jauh di bawah nilai yang seharusnya. Tampaknya hal inilah yang terjadi, sehingga untuk subsidi migor rakyat mealui APBN gagal dilakukan.

Menurut BPDPKS, dari Rp 120 triliun pungutan/iuran ekspor selama 6 tahun, sebesar Rp 91 triliun disalurkan untuk mensubsidi penyediaan biodisel. Sedangkan perusahan CPO penerima subsidi biodisel tersebut antara lain Wilmar Grup, Musim mas Grup, Apical Grup, Duta Palma Grup, Permata Hijau Grup dan Sinar Mas Grup. Tampaknya dana subsidi biodisel yang sudah captive ini hanya dinikmati segelintir pengusaha oligarkis, dan tidak ada sedikitpun yang dinikmati para pemilik kebun sawit rakyat (plasma).