Nestapa Minyak Goreng: Lawan Kebijakan Pro Oligarki!

Kerugian Rakyat

Total konsumsi migor nasional sekitar 5,78 miliar liter per tahun, yang terdiri dari kemasan premium 1,27 miliar liter atau 22%; kemasan sederhana 0,231 miliar liter atau 4%; curah rumah tangga 2,43 miliar liter atau 42%; dan curah industri 1,85 miliar liter atau 32%. Sedangkan 46,9% konsumen migor adalah rakyat berpendapatan Rp 400.000 – Rp 1 juta per bulan dan 44,7% konsumen berpendapatan Rp 1 juta – Rp 3 juta per bulan.

Secara keseluruhan konsumen migor rumah tangga adalah rakyat kelas menengah ke bawah yang mengkonsumsi sekitar 4,63 miliar liter migor. Dengan kebijakan pemerintah yang pro oligarki, dalam 6 bulan terakhir (hingga Maret 2022) diperkirakan mereka mengalami kerugian sekitar Rp 4,5 triliun. Jumlah ini bisa mencapai Rp 10 triliun akibat kebijakan harga yang dilepas ke pasar.

Penerimaan Negara

Selama dua tahun terkahir (Maret 2020 – Maret 2022) harga CPO telah naik dari Rp 7.920 per kg menjadi Rp 25.400 per kg. Sedangkan menurut Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), volume ekspor CPO periode Juli 2015- Nov. 2021 adalah 18,49 – 40,77 juta ton, atau rata-rata ekspor 34,6 juta ton/tahun. Periode yang sama, rata-rata nilai ekspor (FOB) US$ 20,86 Miliar/tahun dan pungutan ekspor rata-rata Rp 19,8 triliun/ tahun.

Berdasarkan data di atas, maka selama 6 tahun (2015 – 2021) total nilai ekpsor sekitar US$ 120 miliar. Dari nilai ekpor ini, dengan asumsi biaya pokok produksi sekitar US$ 400/ton, maka total keuntungan yang diperoleh produsen sebelum dipotong pajak ekspor adalah:  US$ 120 miliar – (34,6 juta ton/tahun x 6 tahun x US$ 400/ton) = US$ 37 miliar. Jika diasumsikan total pajak ekspor, pungutan BPDPKS dan berbagai potongan lain yang diperoleh negara adalah 50% total keuntungan, maka keuntungan bersih pengusaha sawit adalah 50% x US$ 37 miliar = US$ 18,5 miliar atau sekitar Rp 264 triliun. Apakah selama 6 tahun terakhir realisasi penerimaan negara mencapai nilai sekitar Rp 264 triliun dari ekspor CPO? Hal ini perlu dibuktikan. Audit harus dilakukan.

Mengacu pada Pasal 33 UUD 1945, maka sebagai pemilik lahan, porsi yang diterima negara seharusnya lebih besar dari 50% dari keuntungan bersih. Jika skema pajak progresif yang diterapkan tidak adil, maka negara tidak akan memperoleh penerimaan yang seharusnya. Apalagi jika terjadi praktik bernuansa moral hazard, maka negara sebagai pemilik lahan akhirnya akan memperoleh nilai yang jauh di bawah nilai yang seharusnya. Tampaknya hal inilah yang terjadi, sehingga untuk subsidi migor rakyat mealui APBN gagal dilakukan.

Menurut BPDPKS, dari Rp 120 triliun pungutan/iuran ekspor selama 6 tahun, sebesar Rp 91 triliun disalurkan untuk mensubsidi penyediaan biodisel. Sedangkan perusahan CPO penerima subsidi biodisel tersebut antara lain Wilmar Grup, Musim mas Grup, Apical Grup, Duta Palma Grup, Permata Hijau Grup dan Sinar Mas Grup. Tampaknya dana subsidi biodisel yang sudah captive ini hanya dinikmati segelintir pengusaha oligarkis, dan tidak ada sedikitpun yang dinikmati para pemilik kebun sawit rakyat (plasma).