Eramuslim.com – SEKELEBAT, saya teringat buku the Asian Drama (1968) karya sosiolog kenamaan dunia, Gunnar Myrdal. Dua jenis karakter budaya negara, ujar Myrdall, yakni, hard state dan soft state.
Budaya hard state, katanya, adalah jenis budaya yang tegas, konsisten, taat pada rule of law, disiplin tinggi, produktif, dan berpandangan jauh ke depan.
Setalian dengan itu, soft state, jenis budaya yang lemah, inkonsisten, kurang disiplin, social distrust, kurang memanfaatkan waktu, malas, dan kurang taat pada rule of law (bahkan mudah memperkosa aturan main).
Menurut Myrdal dalam risetnya pada awal 1960-an, banyak negara di Asia, termasuk Indonesia, mengalami kebangkrutan ekonomi, miskin dan disertai praktik korupsi merajalela sebagai akibat dari ketidakmampuan negara-negara tersebut menciptakan dan menerapkan hukum serta aturan-aturan yang jelas dan tegas.
Dari riset Myrdal itu, kemudian saya menelaah sengkarut yang terjadi dalam blantika panggung politik dan ekonomi di Tanah Air. Residu keterbelahan politik misalnya, yang hingga saat ini masih terawat, teradministrasi dalam rekaman ingatan, dan belum berkesudahan. Kontestasi Pilpres 2019 sebagai kasus, masih menyisahkan dendam-kesumat antar pelaku dan pendukung. Saling intai-mengintai pun menjadi barang yang galib.
Apa pun momen yang terjadi, pasti diseret pada pola perilaku dendam itu. Pelbagai aturan dan kelembagaan yang diciptakaan penguasa, pasti tidak akan pernah dipercaya oleh pihak oposannya. Ujungnya, bisa terjadi low trust society, kata Francis Fukuyama dalam karyanya Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity (1995).