Oleh Dr Ahmad Zain
Siapa saja yang membaca al Qur’an dengan tadabbur dan seksama, akan mendapatkan bahwa Al Wala’ dan Al Bara’ ( yang merupakan pengejawantahan dari kalimat tauhid ) adalah masalah yang sangat prinsipil.
Ayat-ayat di dalam al-Qur’an, yang menyuruh seorang muslim untuk memberikan loyalitasnya hanya kepada Allah, Rasul, dan orang-orang beriman sangat jelas dan gamblang. Aqidah Al Wala’ dan Al Bara’ ini merupakan inti kekuatan umat Islam.
Syeikh Hamad bin Atiq, salah satu tokoh ulama abad 20, pernah menyebutkan urgensi Al Wala’ dan Al Bara’ di dalam kehidupan umat, salah satu tulisannya adalah:
“Bahwa tidak ada suatu hukum paling jelas yang disebutkan dalam Al-Qur’an, setelah kewajiban bertauhid dan haramnya syirik kecuali masalah Al Wala’ dan Al Bara’.”[1]
Seorang muslim yang berpegang teguh prinsip ini, tak akan goyah sedikitpun menghadapi hantaman yang silih berganti.
Rasulullah akan memberikan predikat “keimanan terkuat” bagi yang sanggup mempertahankan prinsip ini, dalam suatu hadits disebutkan:
“Ikatan keimanan yang paling kuat adalah yang terwujud di dalam memberikan loyalitas dan menyatakan permusuhan, serta mencintai dan membenci karena Allah semata’.( HR. Ahmad)[1]
Tatkala Barat mengetahui rahasia kekuatan ini, mereka berusaha sekuat tenaga untuk menghantam dan melenyapkannya, atau paling tidak melemahkan aqidah al Wala’ dan Bara’ tersebut dari tubuh umat Islam. Paham “Nasionalisme”lah, yang menjadi salah satu pilihan mereka untuk mewujudkan cita-cita busuk tersebut. Akibatnya, sebagai kenyataan pahit yang harus ditelan umat Islam adalah hilangnya pemahaman al Wala’ dan al Bara’ ini dari jiwa para generasinya, loyalitas mereka kepada dienul Islam sedikit demi sedikit semakin menipis, yang akhirnya dihempaskan oleh pemahaman-pemahaman sesat.
Mereka beramal dan berjuang bukan lagi karena membela kepentingan Islam, atau demi tegaknya kalimatullah di muka bumi ini, begitu juga kepercayaan bahwa Islam merupakan rahmat bagi seluruh alam, mulai goyang. Mereka tidak mau lagi menengok lagi nilai-nilai dan ajaran Islam untuk memakmurkan dunia dan memajukan sebuah bangsa.
Oleh karenanya, jauh-jauh sebelumnya, Islam telah mewanti-wanti umatnya supaya tidak terperangkap dalam pemahaman sesat seperti ini. Dalam sebuah hadits shohih Rasulullah saw bersabda:
“Dan barangsiapa mati di bawah bendera kefanatikan, dia marah karena fanatik kesukuan atau karena ingin menolong kebangsaan kemudian dia mati, maka matinya seperti mati jahiliyah (HR. Muslim)
Larangan keras ini lebih dirinci lagi oleh syaikh Muhammad Said Al-Qahthani dalam tesisnya yang berjudul Al Wala’ wal Al Bara’, beliau mengatakan:
“ Bahwa Nasionalisme merupakan salah satu bentuk kesyirikan, karena dia akan menuntut seseorang untuk berjuang membelanya, dan membenci setiap kelompok yang menjadi musuhnya – tanpa melihat muslim atau tidak-, dengan demikian secara tidak langsung ia telah menjadikannya sebagai tandingan Allah”.[2]
Bahkan Muhammad Qutb meletakkan faham Nasionalisme sejajar dengan faham-faham sesat lainnya seperti komunisme, sekulerisme, demokratisme, yang nota benenya bertentangan dengan aqidah Islam. Oleh karenanya wajar apabila beliau mengatagorikannya sebagai salah satu yang bisa membatalkan ke-Islaman seseorang. Beliau beralasan, bahwa paham – paham itu mengajarkan pengikutnya untuk memisahkan Islam dari kehidupan nyata.
Sebenarnya, pendapat beliau ini perlu diperincikan lagi, karena seseorang yang bisa dicap sebagai orang murtad, harus melalui syarat-syarat tertentu sebagaimana yang telah dijelaskan oleh ulama’ Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Akan tetapi penulis lebih cenderung untuk menafsirkan tulisan Muhammad Qutb tersebut sebagai bayan (sekedar penjelasan) bahwa pekerjaan semacam itu adalah salah satu dari bentuk kekafiran. Karena tidak semua orang yang mengerjakan amal yang mengandung kekafiran pasti dia telah kafir kecuali setelah memenuhi beberapa persyaratan.
Yang jelas, faham Nasionalisme adalah pemahaman yang sangat membahayakan aqidah Islam.”[3]
Pendapat Muhammad Qutb tersebut, tidak jauh berbeda dengan apa yang ditulis ustadz Abul A’la al Maududi di dalam salah satu karya tulisnya, beliau menolak digabungkannya antara Islam dengan faham Nasionalisme. Berarti, penulis asal Pakistan ini tidak menyetujui seseorang yang mengatakan muslim nasionalis, karena kedua-duanya tidak bisa bertemu.[4]
“Demikianlah manusia terbagi menjadi dua partai besar, partai Allah dan partai Setan, menjadi dua bendera, bendera kebenaran dan bendera kebatilan. Seseorang hanya bisa memilih salah satu dari keduanya…….., tidak ada bendera kekeluargaan atau kekerabatan, tidak ada bendera tanah air maupun kesukuan, yang ada hanyalah bendera aqidah…………..”[5]
Akhirnya kita patut merenungi salah satu sya’ir yang sering dikumandangkan anak-anak sekolah :
“Cina dan Arab adalah milik kita
Begitu juga India dan semuanya milik kita
Islam telah menjadi dien kita
Seluruh alam adalah Negara kita”.