Saling lempar bidak itu bahkan sudah dilalui sejak dini. Dimulai dengan pernyataan Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan tentang keharusan melanjutkan reklamasi. Lalu diikuti pencabutan moratorium reklamasi oleh Luhut.
Kemudian diteruskan dengan pemberian sertifikat pulau reklamasi oleh Presiden. Akhirnya, pengajuan raperda tentang kelanjutan pulau reklamasi oleh Gubernur Djarot ke DPRD DKI. Semua dilakukan dalam tempo sesingkat-singkatnya.
Tekanan bahkan dari awal sekali saat Ahok menolak keberadaan tim transisi, yang dinilainya seperti presiden saja. Padahal saat Jokowi-Ahok terpilih menjadi gubernur juga membentuk tim transisi dan disambut dengan baik oleh Fauzi Bowo, gubernur saat itu. Permohonan Anies-Sandi untuk bertemu Djarot juga tak pernah diluluskan, hingga kemudian Djarot tak menghadiri acara serah terima jabatan.
Dari semua rangkaian itu, ada tiga makna. Pertama, siapa yang membela konglomerat dan siapa yang membela wong cilik. Kedua, pertarungan politik jangka panjang dari dua arus besar kekuatan politik di Indonesia saat ini, khususnya politik presidensial 2019.
Ketiga, Anies tak mau ditekan dan tak mau tangannya ditelikung. Dia hendak menjadi gubernur yang dihormati ruang geraknya. Di balik kesantunan Anies dan Sandi, ada rahang-rahang yang menonjol dan mata yang tajam. Cadas.
Namun sikap cadas tak berarti jika hanya di pidato. Saatnya bagi Anies-Sandi juga cadas dalam menunaikan janji-janjinya saat kampanye.[kl/rol]
Penulis: Nashin Masha, Pemimpin Redaksi Harian Republika