Anies berbicara tentang banyak hal. Ia mengulas satu per satu tentang sila-sila Pancasila, berbicara tentang persatuan dan kesatuan, mengulas makna kebangsaan dan keindonesiaan, juga menanggapi isu-isu spesifik yang menjadi perdebatan publik tentang permasalahan Jakarta.
Ia juga menegaskan bahwa gubernur bukan hanya administratur, tapi juga pemimpin. Seolah ia hendak menegaskan perbedaan dirinya dengan gubernur sebelumnya, Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok, yang selalu menyebut dirinya sebagai administratur.
Anies juga menyampaikan tentang pendekatan kemanusiaan dan partisipatif, yang itu berarti membedakan dirinya dengan Ahok. Namun dari banyak hal yang ia sampaikan, hanya ada tiga yang mendapat tepuk tangan meriah dan teriakan dukungan dari warga yang hadir.
Pertama, ketika Anies berbicara tentang Ketuhanan dalam sila pertama Pancasila. Kedua, ketika ia menyampaikan tentang keadilan. Ketiga, ketika ia menegaskan sikapnya tentang pengelolaan Teluk Jakarta alias soal reklamasi.
Berdasarkan respons audiens saat itu makin menegaskan siapa pendukung Anies-Sandi. Namun secara keseluruhan, pidato Anies tersebut merupakan deklarasi perlawanan dan penegasan yang tebal tentang visi, sikap politik, dan kepada siapa semua itu ditujukan.
Dalam konteks ini, pilihan diksi pribumi dan respons dahsyat dari tim hore di pihak seberangnya memberi isyarat bahwa pesan itu dipahami dan ditangkap dengan baik. Jika kita cermat mengamati pada saat upacara pengambilan sumpah jabatan di Istana Negara, maka semua itu makin menjadi terang.
Hal yang paling mencolok adalah saat berjabat tangan memberi selamat. Bahasa tubuh dan ekspresi serta senyum Presiden Joko Widodo tampak tak lepas. Hal itu berbeda dengan ekspresi dan senyum Wakil Presiden Jusuf Kalla yang sumringah.
Apalagi jika dibandingkan dengan saat Jokowi menyalami Ahok pada saat pengambilan sumpah sebagai gubernur. Jokowi tak hanya riang gembira, bahkan hingga terkekeh agak membungkuk.