Malam harinya, Anies melakukan pidato politik di halaman Balai Kota DKI. Inilah pidato yang terang, bahkan lumayan hitam-putih. Namun yang menghebohkan adalah ketika ia berbicara tentang pribumi. Sebuah diksi dan konsep perjuangan yang kini berubah menjadi barang haram. Namun tulisan ini tak hendak membahas tentang pribumi, karena untuk itu butuh tulisan tersendiri dan butuh kejernihan ruang.
Acara yang diberi tajuk “selametan” itu memberi pemahaman pada kita tentang kemenangan Anies-Sandi. Massa yang datang umumnya rakyat kelas bawah dan santri. Warna Betawi sangat kentara. Aroma Arab juga tercium. Relawan yang bersih-bersih sampah terus berkeliling sambil menenteng kantong plastik besar. Panggung dibuat sedang saja dan relatif rendah.
Anies-Sandi sedang membuat kesan bahwa mereka tak berjarak dengan rakyat. Bahkan Sandi mencopoti apa yang ia kenakan saat pelantikan: topi, ‘jengkol’ tanda jabatan di saku, baju, sepatu, dan dasi. Semua diserahkan ke orang-orang kebanyakan yang ikut berjuang memenangkannya.
Sandi seolah hendak mengatakan bahwa jabatan bukan segalanya dan itu milik bersama. Acara hiburan juga didominasi musik Melayu dan tak melibatkan artis-artis besar.
Karangan-karangan bunga yang berjejer pun umumnya dari perorangan yang tak dikenal dan bukan dari korporasi-korporasi raksasa. Semua ciri itu menjadi kontras dari pihak pesaingnya. Ciri rakyat justru muncul dari pasangan gubernur-wakil gubernur yang bukan diusung oleh partai yang menjargonkan dirinya sebagai partai wong cilik. Puncak dari ciri rakyat itu adalah pidato politik Anies, yang oleh Joko Sadewo disebut “lumayan kiri”.