Kesan tersebut tampak dari pidato Daniel menanggapi visi misi Capres 2014 yang mengangkat tema “Membulatkan Lingkaran Kekuasaan: Perjalanan dari Negara Kuat ke Masyarakat Kuat, Godaan dan Konsekuensi kembali ke Negara Kuat” (Kompas, 7 Juli 2014, hal. 12).
Sikap seorang intelektual seperti Daniel mencerminkan kesadaran umum dari sebagian besar masyarakat sipil sepanjang 19 tahun reformasi. Disatu sisi, kita mengecam keras ketika negara tak berdaya, tidak hadir atau gagal melindungi kepentingan rakyat yang dirampas oleh kekuatan non-negara, seperti mafia kejahatan, kartel ekonomi, dan segala bentuk perwujudan dari kerajaan kuasa kegelapan.
Namun di sisi lain, kita sering mengembangkan sikap traumatik yang berlebihan jika negara terlalu kuat. Kita trauma dengan Orde Baru yang mengekang kebebasan kita. Sikap traumatik yang berlebihan itu lalu membuat kita secara gelap mata men-design dan mem-building sistem negara yang ditujukan untuk melemahkan fungsi dan kapasitas negara.
Disatu sisi, kita menuntut negara harus hadir melindungi segenap tumpah darah Indonesia, terutama di saat menghadapi konflik suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) yang mengganggu dan mengancam kepentingan pribadi dan kelompok kita. Namun, di sisi yang lain, kita tak mau negara hadir mengatur kehidupan pribadi dan golongan kita. Kita mau jadi manusia bebas tanpa aturan dari negara yang mengikat kita.
Disatu sisi kita menghendaki masyarakat sipil harus lebih kuat dari negara. Namun disisi yang lain, kita menjadi hipokrit, tak menghendaki ketika dihadapkan kepada kenyataan dimana masyarakat sipil yang kuat tersebut adalah masyarakat Islam yang menghendaki tegaknya syariat Islam.
Bagaimana mungkin negara dapat bertindak melindungi segenap tumpah darah Indonesia secara adil, jika sistem negaranya sendiri dibuat lemah dan tidak berkapasitas?
Apa mungkin sebuah kekuatan yang lemah dapat melindungi kekuatan yang jauh lebih kuat darinya? Mana mungkin hewan sejenis kambing yang lemah dapat bertindak melindungi hewan yang jauh lebih kuat dari dirinya?
*Penguatan Kapasitas Negara*
Karena itu, cukup beralasan jika Prof. Francis Fukuyama menyampaikan pandangan yang berbeda dengan Daniel Dakidae di atas. Intelektual penulis buku legendaris The End of History and the Last Man (1992), yang menjelaskan arus perputaran sejarah pasca komunisme, dimana liberalisme sebagai akhir sejarah, yang ditandai oleh digdayanya pasar terhadap negara.