Sebagaimana diutarakan di atas, pendapatan dari 20% tabungan driver, akumulasinya per hari menurut Joko Edhi, Rp.1,4 miliar, sungguh daging bistik dan membuat bergizi para pemilik perusahaan Go-Jek.
Kalau misalnya pendapatan kotor driver Ojol, per hari Rp.200.000.-, pada saat yang sama pihak perusahaan Go-Jek dapat uang sebesar Rp. 40.000.-/hari (20% x Rp.200.000.-). Iuran JKK dan JKm per hari adalah Rp.16.800 di bagi 30 hari = Rp. 560/hari. Hanya harga setengah batang rokok. Jika iuran sebesar Rp.560/hari tersebut dibayar oleh perusahaan maka angka tersebut hanya 1,4% .
Dengan asumsi pendapatan 20% perusahaan Go-Jek per hari adalah Rp.1,4 miliar, maka angka 1,4% diatas, jika di take over oleh perusahaan, mengeluarkan uang sebesar Rp. 19, 6 juta. Bayangkan hanya mengeluarkan uang sebesar Rp. 19,6 juta/hari dari pemasukan yang dapat dikeruk sebesar Rp. 1,4 miliar / hari.
Di mana moralitas pemilik Ojol?. Kenapa Pemerintah tidak berdaya untuk “memaksa” agar perusahaan membayar iuran JKK dan JKm tersebut?. Dan merasa cukup puas dengan membantu membuka akses untuk pembayaran ke BPJS Ketenagakerjaan, tapi dari kantong driver. Oh malangnya nasib driver Ojol.
Apakah Pemerintah tidak melihat dan mendengar, banyak diantara mereka bahkan sebagian besar tidak sanggup bayar iuran, dan jika pun ada yang mengiur, terputus-putus.
Pemiliknya menjadi Menteri
Bagaikan republik mimpi, pemilik Go-Jek dengan pola mengelola perusahaan yang tidak care dengan Perlindungan Sosial bagi pekerjanya, dan merupakan ladang uang perusahaan, tidak mau mengeluarkan dana untuk iuran JKK dan JKm hanya sebesar Rp. 16.800/bulan, dengan manfaat perlindungan sosial yasng telah diutarakan diatas.
Nadiem Makarim, pengusaha startup, milenial, punya perusahaan Go-Jek, diangkat oleh Presiden Jokowi, tidak kepalang tanggung jadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Mau model pendidikan apa yang hendak dikerjakan Nadiem dan kebudayaan apa yang dikembangkan dan dilestarikan?.
Apalagi sebagaian besar hidupnya terpapar dengan pendidikan luar negeri, dan budaya luar negeri.
Bagaimana Nadiem dapat membangun dunia pendidikan dengan karakter standar moral anak didik, yang mengedepankan nilai-nilai agama, budaya dan karakter bangsa dengan semangat gotong royong.
Tidak mudah dan terasa tidak mungkin, sebab karakter Nadiem sendiri sebenarnya adalah seorang kapitalis, yang mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari bisnis keringat driver Ojol.
Kalaupun kita melihat dalam penampilan Nadiem menunjukkan kepedulian pada guru, dan anak didik, tetapi itu semua masih bersifat dipermukaan. Apa agenda di balik kepala Nadiem tidak ada yang mengetahui, apakah Presiden Jokowi mengetahui?, tak jelas.
Banyak yang berpendapat, berilah kesempatan pada Nadiem seorang milenial, yang cerdas dalam melihat masa depan, seperti yang disampaikan saat penetapannya sebagai Mendikbud.
Persoalannya apakah masa depan yang dilihatnya sama dengan penglihatan kita. Apakah Nadiem melihatnya dengan hati, Iman, dan akal sehat. Atau Nadiem melihatnya kedepan, akan berseliweran robot-robot pengganti fungsi manusia, dan 260 iuta rakyat mau dikemanakan?.
Apakah kita ingin menitipkan anak, cucu kita pada Sistem Pendidikan yang dinakhodai Nadiem Makarim dengan pandangan masa depannya itu. Silahkan memikirkannya.
Cibubur, 10 Nopember 2019 (*tsc)
Penulis: Dr. Chazali H. Situmorang, APT, M.Sc (Direktur Social Security Development Institute-Dosen FISIP UNAS)