Dalam acara tahuan "Christmas Readings" di Moskow pada bulan Januari 2008, Menteri Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan Rusia, Andrey Fursenko mengatakan, "menerapkan ajaran agama-agama langit di level pemerintahan baik di tingkat federal, regional maupun tingkat pemerintahan kota, merupakan tindakan yang terlarang." Menurut Fursenko, yang paling penting bagi siswa dan orang tuanya adalah memberikan kebebasan memilih pada mereka untuk menghindari kontroversi.
Sebulan kemudian, tepatnya tanggal 14 Februari 2008, sekitar 227 pemuka agama Kristen di Rusia mengirimkan surat pada Vladimir Putin (mantan presiden Rusia) yang isinya mendukung inisiatif dari Gereja Kristen Ortodoks Rusia untuk memasukkan ajaran agama Kristen dalam mata pelajaran sekolah. Para pemuka agama Kristen menyebut mereka yang menolak inisiatif ini sebagai para penganut nihilisme dan tidak toleran terhadap Gereja Ortodoks Rusia, Gereja Ortodoks Kristen dan pada pengikutnya.
Tapi dua bulan kemudian, pada bulan April, lebih dari 1.700 cendekiawan Rusia yang pendukung sekularisme mengirimkan petisi pada Presiden Rusia Dmitry Medvedev yang isinya meminta Presiden tidak mengabulkan inisiatif kalangan gereja untuk memasukkan ajaran agama Kristen sebagai mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah umum. Para cendikiawan sekuler itu beralasan, pemaksaan pelajaran agama akan menimbulkan ketegangan dan akhirnya perpecahan di Rusia.
Pada bulan yang sama, Dewan Mufti Rusia secara resmi menyampaikan keberatannya jika di sekolah-sekolah umum Rusia hanya diajarkan tentang budaya, sejarah dan tradisi dari satu agama saja, karena akan menimbulkan konflik agama dan etnis di Rusia.
Kalangan gereja ortodoks di Rusia sebenarnya ingin meniru ide sejumlah wilayah di kawasan Kaukasus yang penduduknya mayoritas Muslim, seperti Chechnya, Ingushetia, Dagestan yang setuju untuk memasukkan mata pejaran agama Islam di sekolah-sekolah. Dua wilayah Rusia yang mayoritas penduduknya Muslim yaitu, Tatarstan dan Bashkortostan juga ikut mengusulkan ide itu.
Tapi berbeda dengan usulan warga Muslim agar agama Islam menjadi mata pelajaran yang bisa dipilih siswa sekolah, kalangan Gereja Ortodoks menjadikan ajaran agama Kristen sebagai pelajaran yang wajib diikuti dan bahkan mencoba menerapkan tradisi Kristen sampai ke level pemerintahan.
Damir Mukhetdinov, Kepala Nizhniy Novgorod Islamic Institute mengatakan, cara kalangan Gereja Ortodoks memaksakan ajarannya ke setiap orang telah melanggar standar-standar pendidikan di Rusia dan bertentangan dengan prinsip sekularisme dalam konstitusi Rusia.
Namun apa respon dari pihak gereja atas kritikan itu? Kepala Deputi Bidang Hubungan Eksternal Gereja, Vsevolod Chaplin malah dengan sinis mengatakan, "Warga Muslim yang tidak suka dengan situasi di Rusia, silahkan mencari sendiri tempat yang lebih baik untuk hidup."
Wajib Bawa Alkitab dan Salib
Faktanya, pada tahun 2007, jumlah warga Muslim sejumlah wilayah di Rusia Tengah meningkat tajam (kebanyakan imigran dari Asia Tengah dan Kaukasus). Jumlah siswa-siswa Muslim di sekolah-sekolah juga bertambah banyak dan para orang tua mereka sudah sering memprotes kebijakan sekolah yang mewajibkan siswanya mengikuti pelajaran agama Kristen ortodoks.
Di wilayah Nizhniy Novgorod, sejumlah sekolah memasukkan mata pelajaran agama Kristen dan semua siswanya wajib mengikuti pelajaran tersebut dan wajib membawa Alkitab serta salib setiap jam mata pelajaran agama Kristen. Begitu pula buku-buku teks sekolah yang ditulis berdasarkan keyakinan dalam agama Kristen, tanpa konsultasi terlebih dahulu dengan perwakilan agama lainnya.
Sebagai contoh, di Nizhniy Novgorod, buku-buku teks yang isinya tentang sejarah Islam, diterbitkan tanpa melibatkan para ulama dan cendikiawan Muslim. Akibatnya, dalam buku-buku teks yang digunakan di sekolah-sekolah, bab tentang agama Islam dimasukkan dalam bab "Sekte" dan agama Islam disebut sebagai "agama tentang nasib." Saat ini, Direktorat Agama Islam di Nizhniy Novgorod sedang bersiap membawa kasus buku-buku teks itu ke pengadilan.
Protes-protes yang dilakukan sebagain warga Muslim Rusia sedikit demi sedikit mengubah sikap Gereja Ortodoks. Mereka mulai mau berkompromi dan mengakui hak warga Muslim, penganut agama Yahudi dan penganut agama Budha untuk mempelajari agamanya masing-masing selain agama Kristen Ortodoks.
Kalangan Kristen Ortodoks kemudian memutuskan mengganti mata pelajaran agama Kristen Ortdoks dengan mata pelajaran Budaya dan Kerohanian, yang akan diperkenalkan mulai tahun ajaran 2009. Kelas baru ini terkesan berisi ajaran liberal, tapi sebenarnya esensinya tidak jauh berbeda dengan mata pelajaran agama dan budaya Kekristenan. Otoritas pemerintahan di wilayah Nizhniy Novgorod, Tatarstan dan Bashkortostan sudah menyatakan keberatan dengan mata pelajaran baru ini. Gerakan "Russian Islamic Hertitage" mengirimkan surat pernyataan pada pemerintah Rusia bahwa inisiatif kalangan gereja itu melanggar prinsip undang-undang dan konstitusi negara Rusia.
Sayangnya, Muslim Rusia masih belum bersatu untuk melakukan perlawanan terhadap sepak terjang kelompok Gereja Ortodoks yang tetap ingin memaksakan ajaran agama Kristen di sekolah-sekolah dalam tahun ajaran 2009. Sampai saat ini, belum ada tempat yang menjadi pusat kordinasi warga Muslim Rusia dan seluruh organisasi muslim di negeri itu. Suara dan gerakan mereka masih terpecah-pecah sehingga tidak kedengaran gaungnya. (ln/iol)