Bila demikian adanya, maka adalah merupakan sesuatu yang bersifat missleading apabila judul RUU nya adalah RUU Cipta Lapangan Kerja alias RUU Cilaka.
Sebab tujuan utama dari dibuatnya UU tersebut adalah mem-by pass atau potong kompas sebanyak 74 UU yang ada, terutama terkait masalah perizinan dan perlindungan tenaga kerja.
Pada intinya, substansi RUU Cilaka tersebut adalah ;
1. Mempermudah perizinan alias membebaskan pelaku bisnis besar untuk berbuat apa saja yang penting sudah mendapat satu izin yaitu izin usaha.
Sementara prosedur lain seperti IMB dalam hal utk bangun pabrik, AMDAl utk perlindungan terhadap lingkungan, sertifikasi halal untuk produk makanan dan minuman dinilai menghambat ekspansi bisnis milik para pelaku bisnis besar.
Ini baru diantara contoh contoh beberapa ketentuan yang dicabut melalui RUU Cilaka tersebut.
2. Menghilangkan perlindungan terhadap buruh.
Dalam kondisi adanya ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan yang melindungi buruh saat ini saja, birokrasi pemerintah dalam banyak sengketa antara buruh dengan majikan, lebih banyak berpihak kepada pemilik modal.
Dapat dibayangkan apabila norma norma dalam UU mengenai perlindungan buruh dihapuskan dengan cara manipulatif mengenai kesepakatan antara buruh dan majikan dalam soal menentukan syarat syarat kerja dan penghilangan tanggung jawab pengupahan menjadi upah berdasar jam jaman. Jadi buruh diperlakukan ibarat penjual jasa short time.
3. Memperbesar kekuasan Presiden untuk membuat aturan apa saja yang masih merintangi jalannya kekuasaan.
Tentu saja RUU Cilaka ini bersifat sangat jahat dan manipulatif. Karena judulnya bisa membuat missleading, seolah oleh penguasa ingin menciptakan lapangan kerja seluas luasnya, namun tujuan utamanya adalah justru menciptakan iklim sebebas bebasnya bagi pelaku usaha besar pada satu sisi dan membiarkan rakyat kecil diperlakukan sewenang wenang oleh company.
Ini tidak lebih dan tidak kurang kembali ke zaman liberalisme ekonomi. Dimana pelaku bisnis dibiarkan bahkan mendapat back up dari penguasa untuk menjalankan bisnisnya sesuka hati. Sebagaimana zaman VOC, yang diperbolehkan memiliki budak dan pasukan keamanan sendiri.
Ini zaman kembali lagi pada masa, dimana negara justru diatur oleh pelaku bisnis besar. Bukan sebaliknya.
Namun secara curang dan manipulatif, judul RUU tersebut dibuat sedemikian rupa seolah ingin menciptakan lapangan kerja. Padahal dalam dunia era digital ini, tenaga kerja yang dibutuhkan semakin sedikit.
Kalau memang penguasa ingin menciptakan lapangan kerja yang luas, mengapa, sebagai contoh kecil dan nyata, justru pembayaran toll menggunakan uang plastik..?
Padahal bila tetap dilakukan dengan cara cash, tentu tenaga kerja yang digunakan akan banyak dan memenuhi agenda cipta lapangan kerja. “Jadi anak janganlah suka bohong. Kalau bohong digigit kambing ompong. Ini nyanyian anak SD di Australia waktu menyambut kunjungan Presiden Indonesia.
Kekacauan dan ketidakpraktisan dalam methode Omnibus Law RUU Cilaka tersebut dapat kita lihat lagi dalam persoalan sistematikanya.
RUU tersebut ternyata hanya mencabut beberapa pasal saja yang ada di 74 UU lainnya, sementara pasal pasal lain tetap berlaku alias UU nya tetap berlaku.
Jadi, pada level praksisnya, nanti setiap pelaku bisnis, akan melihat beberapa window di layar gadgetnya atau komputernya untuk memverifikasi berbagai aturan, mana yang sudah dicabut mana yang masih berlaku.
Jadi kesederhanaan dan kepraktisan seperti yang diinginkan abang tukang bakso, eh penguasa, justru tidak terjadi. Bisa dibayangkan bila pelaku bisnis tersebut adalah orang yang gaptek, sehingga harus memegang beberapa buku untuk mengetahui aturan dalam berbisnisnya.
Sementara, bila konsisten dengan methode kodifikasi, penguasa (eksekutif dan legislator) tinggal menyusun sebuah kitab UU Hukum Bisnis yang dibagi dalam berbagai bagian, mulai Buku ke-1 tentang Badan Usaha, yang bisa dibagi lagi kedalam Badan Usaha Swasta, Badang Usaha Milik Negara, Badan Usaha Koperasi, Badan Usaha Mikro dan seterusnya, lalu Buku ke-2 Tentang Prosedur Perizinan, lalu Buku ke-3 Tentang Pajak, Lalu Buku ke-4 Tentang Tenaga Kerja dan seterus nya teedan seterusnya.
Memang tebal dan capek menyusunnya, tapi untuk itulah penyelenggara dibayar dari pajak rakyat. Untuk bekerja dan menyusun secara sistematis serta konsisten sistem hukum dan politik hukum Indonesia. Untuk memberikan perlindungan terhadap rakyat jelata dan lemah.
Dalam sistem hukum Islam, fungsi penguasa sangat jelas. Dan pada kaitan dengan persoalan pokok diatas, yaitu seberapa besar penguasa mendapatkan kewenangan dalam menjalankan kekuasaan.
Maka dalam sistem Islam, penguasa adalah pemegang amanah, bukan sosok yang bisa berbuat sewenang wenang dalam menyelenggarakan kekuasaannya. Penguasa terikat dengan hukum hukum yang bersumber dari Alquran, Sunnah, Ijma’ dan qiyas.
Kekuasan pemimpin dalam sistem Islam, dibatasi oleh kewajiban kewajiban untuk menjaga agama, menjaga jiwa dan badan, menjaga kehormatan dan keturunan serta menjaga harta. Pempimpin terikat untuk menjaga ketertiban umum dan menjamin keadilan sosial. Melalui kebijakan kebijakannya.
Pemimpin juga terikat untuk melindungi kaum mustad’afin yang terpinggirkan melalui kebijakan kebijakan yang melindungi mereka. Nabi Muhammad SAW pada periode dakwahnya menggerakkan proses perubahan pada diri bangsa Arab dari masyarakat yang jahiliyyah menuju umat yang islamiyyah.
Dari kondisi kegelapan menuju kondisi yang terang benderang. Serta dari kondisi tertindas (mustadh’afin) oleh struktur politik Kafir Quraisy untuk menjadi umat yang terbebas dari berbagai bentuk penindasan dan diskriminasi. Misi ini pula yang telah dibawa oleh para Nabi sebelumnya.
Semua utusan Allah digambarkan dalam Alquran sebagai pembela al-mustadh’afin untuk menghadapi al- mustakbirin, seperti Musa yang digambarkan sebagai pembebas bangsa Israel dari penindasan raja Fir’aun, sebagaimana frman Allah:
“Dan Kami hendak memberi karunia bagi orang-orang yang tertindas di bumi itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi” (Q.S.28:5).
Nabi Muhammad Salallahu alaihi wassallam diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala ke dunia untuk membebaskan masyarakat Arab dari krisis moral dan sosial.