Namun ada persoalan pokok yang mesti dilihat secara teliti dalam produk hukum berupa UU, baik produk UU dlm sistem civil law maupun common law, yaitu ;
1. Seberapa besar penguasa mengalokasikan kewenangan atau kekuasaan dalam mengatur hubungan antara:
a. penguasa dengan rakyat dan,
b. penguasa dengan pelaku bisnis besar…?
2. Seberapa besar penguasa memberikan perlindungan terhadap rakyat dalam hubungannya dengan pelaku bisnis besar..?
Pertanyaan ini dapat dijawab secara tidak langsung. Bahwa, semakin besar kekuasan negara terhadap rakyatnya melalui produk UU, semakin kecil kendali negara terhadap pebisnis besar, dan semakin lemah perlindungan negara terhadap rakyat jelata, maka artinya negara tersebut semakin menuju jurang kehancuran.
Kodivikasi Versus Omnibus
Sebagaimana telah diuraikan diatas, bahwa bila secara konsisten politik hukum Indonesia mau dikembangkan kearah sistem tertentu, maka seharusnya pilihan pilihan methode dalam menghasilkan produk perundang-undangan mestilah mengikuti konsekwensi dari pilihan sistem hukum tersebut.
Untuk mudahnya, bila Indonesia memilih common law sebagai sistem hukumnya, maka memang omnibus law adalah methode dalam menyederhanakan produk hukumnya. Namun bila Indonesia memilih civil law sebagai pilihan sistem hukumnya, maka seharusnya kodifikasi menjadi methode dalam menyederhanakan produk hukum. Ini adalah masalah prinsip dalam konsistensi berfikir.
Memang kedua sistem tersebut adalah sistem buatan manusia yang sangat boleh diabaikan. Namun tentu dalam memilih sistem, hendaknya konsisten dengan pilihan tersebut dengan seluruh konsekwensi methode dan implementasinya.
Dalam kenyataannya di Indonesia saat ini, pada satu sisi sangat ingin bertahan dengan model civil law dengan membuat RKUHP, yang konsekwensi secara sistem hukum seharusnya mengumpulkan semua ketentuan pidana dalam satu kitab undang undang pidana pada satu sisi, dan pada sisi yang lain tidak membuat ketentuan pidana dalam setiap UU yang dihasilkan.
Artinya apabila membuat sebuah UU dan mengatur tentang ketentuan pidana, maka sudah seharusnya ketentuan pidana tersebut ditambahkan menjadi pasal dalam KUHP.
Hal ini bukan berarti menghapuskan kekhususan sebuah tindak pidana, sebagaimana dalam issue tindak pidana korupsi yang diissuekan menjadi tindak pidana biasa ketika masuk kedalam KUHP. Ini merupakan penyesatan. Karena sebuah norma tetap bisa ditetapkan sebagai sebuah kejahatan extra ordinary walau di dalam KUHP dengan menyebutkan secara tegas di dalam rumusan normanya.
Namun dalam praktek legislasi Indonesia, trend yang berkembang saat ini adalah, setiap produk UU memuat ketentuan pidana sendiri sendiri. Yang justru mengacaukan tujuan dari kodifikasi melalui RKUHP.
Sementara dilapangan hukum perdata, sudah sejak lama Indonesia membuat berbagai macam UU sektoral yang lucunya memuat berbagai ketentuan pidana dalam setiap UU tersebut. Jadi tidak ada gunanya mengkodifikasi dalam bentuk RKUHP.
Inilah kekacauan praktek legislasi di Indonesia. Para pembuat hukum seenaknya membuat UU tanpa memperhatikan politik sistem hukum yang hendak dibangun.
OMNIBUS LAW, ANTARA IDEALISME VS PRAGMATISME
Ada tiga omnibus law yang akan diajukan dalam prolegnas 2020 ini, yakni RUU Penciptaan Lapangan Kerja, RUU Perpajakan, dan RUU Ibu Kota Baru, Sementara RUU Farmasi sepertinya masih menunggu sponsor dari korporasi yang bergerak dalam bidang farmasi.
Menurut Presiden, omnibus law merupakan jawaban dari keluh kesah para investor yang selama ini tidak bebas dalam berekspansi. Hal ini diucapkan Presiden saat menghadiri acara pertemuan tahunan industri jasa keuangan tahun 2020 di Grand Ballroom The Ritz-Carlton Pacific Place (PP), Jakarta, Kamis (16/1/2020)
Berdasarkan ucapan Presiden tersebut, jelas maksud dan tujuan utama dari RUU yang dibuat berdasarkan methode omnibus law tersebut adalah merupakan langkah pragmatis Presiden dalam memfasilitasi industri keuangan dan dunia bisnis.