Persoalan moralitas politik yang digugat Rizal Ramli tentunya tugas berat kita. Kita sedang melawan sebuah mental bangsa rusak, yang gagal di revolusi oleh Jokowi dengan Revolusi Mentalnya. Namun, kita tentu tidak menyerah. Standar moral ideal mengelola bangsa tetap pada 3 hal : 1) orang suci maupun insyaf harus di depan. Di depan artinya mengendalikan kepemimpinan perjuangan. 2) ideologi perjuangan adalah alat penyaring (“ayakan”). Ideologi adalah negara dan kekuasaan hanya berfungsi dua, utamanya, membuat orang lebih mencintai Tuhannya dan menjadikan orang miskin kaya. 3) negara dan kekuasaan harus adil terhadap eksistensi keberagaman suku bangsa kita.
Nasihat Rizal Ramli tentang moral politik, baik yang dipesankan kepada saya, maupun melalui media konfrontasi online, perlu menjadi perhatian serius gerakan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), yang dikumandangkan tanggal 2 Agustus lalu. Rizal yang menunda kehadirannya padahal sudah memberitahu Professor Din akan datang, saat itu mengangkat isu moral politik. Tentu saja saya harus membahasnya apa itu moral politik dan bagaimana kita harus merespon.
Moral politik adalah sebuah moral gerakan. Moral Politik adalah bagaimana kita melihat kekuasaan dan orang yang menjalankannya. Dalam moral politik yang benar, kekuasaan sejatinya hanya berfungsi untuk membuat rakyatnya lebih cinta Tuhannya (happiness) dan rakyat miskin itu semua jadi kaya. Dan ini terkait dengan penguasanya. Penguasa bermoral adalah penguasa yang tidak merampok uang negara untuk pribadi dan tidak memperkaya hanya orang kaya.
Namun tantangan kita saat ini lebih berat dibanding ketika Sukarno Hatta menjadi penguasa. Saat ini demokrasi uang dan uang telah menghancurkan moral yang ada. Sehingga kita perlu melakukan strategi yang tepat tanpa mengurangi garis ideologi perjuangan. Itulah arah perjuangan kita. (*)
Penulis: Dr. Syahganda Nainggolan