Moeldoko dan Etika Berpolitik

Di Amerika Serikat, etika dalam politik senantiasa menjadi dasar atau acuan bagi setiap orang yang dipilih menduduki jabatan publik. Menurut Rich Robinson (Direktur California Utara Bagi Calon Presiden Partai Demokrat), ada 3 hal yang membuat masyarakat marah jika seorang pemimpin melanggarnya yaitu ; Pertama, Kampanye tidak jujur merupakan cerminan etika politik yang melekat. Sekalipun di USA tidak diatur tentang kejujuran kampanye, atau apa yang dianggap pantas atau tidak pantas. Namun kampanye negatif tidak selalu merupakan sesuatu yang buruk, jika tuduhan terhadap kandidat itu benar.

Kedua, inkonsistensi dan standart ganda dalam bertindak. Sikap dan tindakan seorang politisi dituntut untuk jujur dan tidak semata menguntungkan diri dan partainya.  Dalam kasus skandal seks yang menimpa senator Republik Bob Packwood, banyak anggota dari Demokrat dengan cepat menyerukan pengunduran diri Packwood. Namun ketika kasus yang sama menimpa Bill Clinton, maka anggota partai Demokrat pada diam.  Dengan demikian, seorang politisi apalagi presiden dituntut untuk jujur, betapapun kasus yang terjadi merugikan kepentingan partainya.

Ketiga, peran uang dalam kampanye. Berlawanan dengan pemikiran populer, uang tidak menentukan hasil pemilu, terutama di tingkat nasional. Namun pada sisi lain, uang ternyata dapat memainkan peran – bagaimanapun dalam pemilihan – para calon untuk terus mengubah aturan tentang besaran kontribusi, pengeluaran, dan waktu pelaporan. Sehingga membuat hampir semua politisi kelihatan tampak tidak etis ketika sedang merealisasikan dan melaporkan

Ini berarti, etika politik yang erat kaitannya dengan sikap, nilai, maupun moral serta sangat fundamental harus dimiliki setiap orang terutama yang menduduki posisi penting dalam struktur kekuasaan. Sementara yang ironis dalam realitas kehidupan perpolitikan dewasa ini, justru banyak dari para elit politik yang tidak beretika dalam sikap atau perilaku politiknya. Terutama terkait dengan perilaku kekuasaan yang korup.