Moeldoko dan Etika Berpolitik

Eramuslim.com – Press release yang dilakukan Ketua Umum Partai Demokrat, 1 Februari 2021 terkait dengan kudeta pimpinan partai telah menyita perhatian masyarakat. Pasalnya selain melibatkan 4 orang yang pernah sebagai elite partai, maka yang menarik adalah dugaan keterlibatan Moeldoko (Kepala Staf Presiden) dalam peristiwa ini. Keikutsertaan pejabat tinggi di lingkungan terdekat dari presiden setidaknya membuat publik berspekulasi bahwa presiden telah menyetujui. Sehingga situasi ini dapat membuat para pengamat luar negeri (Indonesianis) berkesimpulan bahwa presiden Jokowi telah mengembalikan otoritarianisme.

Rezim otoritarianisme di Indonesia pada dasarnya telah  hilang pada tahun 1998 seiring runtuhnya Orde Baru oleh gelombang tuntutan reformasi kala itu. Dan sejak itu, banyak dilakukan perubahan  bidang sosial politik untuk memperbaiki kebijakan yang disebabkan oleh pemerintah.  Di antaranya adalah terkait penghapusan dwifungsi militer, pemilihan presiden hingga kepala daerah, kedudukan MPR, serta hak dan kewajiban presiden. Karenanya, upaya untuk mengembalikan kekuasaan yang berlebihan di tangan pemerintah banyak mendapat gugatan dan perlawanan dari masyarakat sipil.

Etika dalam Politik

Salah satu masalah dalam perilaku elite politik seiring dengan reformasi adalah terkait dengan etika. Dimana bukan hanya suatu keharusan dalam perilaku politik, namun etika diperlukan untuk berbagai bentuk aktivitas kehidupan keseharian. Menjujung etika dalam politik sangat dibutuhkan oleh elite negara karena berkaitan dengan masalah moral kekuasaan yang ditimbulkan.

Etika politik pada dasarnya tidak mengizinkan para pemimpin untuk melakukan hal-hal yang salah dalam kehidupan pribadi, tetapi yang lebih penting lagi adalah mengharuskan para elite politik untuk memenuhi standar yang lebih tinggi daripada yang diperlukan dalam keseharian. Misalnya, hak privasi yang lebih kecil dibanding warga negara biasa, dan tidak memiliki hak menggunakan kantor untuk keuntungan dan kepentingan pribadi.