Moderasi Beragama Bukan Ambivalensi

Makna komprehensifnya yakni umat yang beribadah, bermuamalah, dan berjihad fi sabilillah. Umat yang menempatkan agama bukan sebagai bagian kecil dari kehidupan tetapi menjadi nilai fundamental dan instrumental untuk suatu keyakinan bahwa agama adalah nilai utuh penyelamat hidup di dunia dan akherat.

Moderasi sebagai sikap dan cara pandang untuk memperlemah keyakinan agama jelas salah. Terlebih jika dimaknai kehilangan konsistensi atau penyebab ambivalensi atau berwatak bunglon. Berganti ganti warna yang tergantung situasi, berganti-ganti jilatan tergantung majikan.

Moderasi “wasathan” menurut Al Qur’an adalah membangun keunggulan. Keunggulan kompetitif dengan berlomba dalam kebaikan “fastabiqul Khoirot”. Dua kalimah penting “agar kamu menjadi saksi atas umat manusia” dan “agar Rosul menjadi saksi atasmu”.

Saksi itu bukan bermakna toleransi tetapi berposisi sebagai penanggungjawab, pemimpin, sekaligus pembukti dari kerja kolektif. Disanalah Nabi dan umatnya itu berada. Adapun toleransi adalah sikap yang sudah melekat dengan ajaran agama sebagai konsekuensi dari pengakuan atas kemajemukan.

Nah, moderasi tidak boleh dijadikan upaya untuk menipiskan keyakinan beragama apalagi membuangnya. Jika arahnya ke sana bukan saja umat akan menolak tapi wajar untuk lebih mewaspadai dan mengkonsolidasikan diri dalam melawan kekuasaan kriminal yang mencoba untuk meminggirkan agama. [FNN]

*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan