Mobilisasi Kepala Desa dan Agenda Presiden Tiga Periode

Kini Jokowi tergoda dan bahkan sudah terjebak dan tersandera oleh lingkarannya sendiri ketika anak-mantunya didorong menjadi kepala daerah—suatu hal yang belum pernah terjadi di era presiden sebelum-sebelumnya.

Kini, gagasan menambah masa kekuasaan presiden sudah turun pada tataran operasional, meski harus membeli dukungan publik maupun kader partai pemilik suara di DPR demi menyiasati konstitusi. Gagasan perpanjangan masa jabatan ini juga akan lebih menarik minat kader partai yang merupakan petahana di DPR dan DPD karena masa jabatan mereka pun akan ikut diperpanjang. Singkatnya, SPS: semua petahana senang.

Jika agenda Jokowi tiga periode atau perpanjangan masa presiden gagal, sudah disiapkan rencana cadangan untuk menempatkan orang-orang pilihan sebagai penggantinya melalui berbagai mekanisme yang mungkin. Dengan demikian, dua agenda tersebut tampaknya akan terus dipaksakan semaksimal mungkin, apa pun risiko dan berapa pun biayanya.

Yang perlu disadari para elite dan tokoh masyarakat desa adalah bahwa pertarungan elite yang merambah ke akar rumput akan menimbulkan konflik horisontal, yang sangat memungkinkan menimbulkan pertumpahan darah. Di desa juga ada kader-kader partai politik dan mungkin akan terjadi konflik di antara mereka sebagai turunan dari sikap partai di pusat.

Namun, tidak semua hal dapat dipertukarkan. Loyalitas masyarakat pada konstitusi, akhlaknya, dan harapan tentang hari esok yang lebih baik tidak selalu dapat ditukar dengan materi yang ditawarkan para elite.

Memobilisasi masyarakat, yang sudah terbelah sejak pemilihan presiden 2014, akan sangat berbahaya karena akan berbenturan dengan kelompok-kelompok penjaga konstitusi yang juga sudah bergerak, termasuk aksi-aksi mahasiswa. Potensi konflik sosial antara pendukung dan penolak agenda Jokowi tiga periode atau perpanjangan masa presiden akan dapat memicu kekacauan serta ketidakstabilan politik dan keamanan. Inilah yang harus dicegah sedini mungkin. [FNN]