Miskin Akhlak, Luhut Tak Hormati Jokowi

Publik akhirnya bisa menilai terlepas apapun hubungan, pengalaman dan komitmen yang terbangun di antara mereka selama ini. Harusnya, sebagai petinggi negara, keduanya dituntut mampu memperlihatkan relasi sosial yang profesional dan proporsional terutama saat terlihat dihadapan publik.

Presiden dan bawahannya yang seorang menteri sekaligus pengusaha itu, dalam kapasitas pejabat negara sepatutnya bisa bersikap sesuai aturan dan protokoler resmi yang berlaku. Bukan malah sebaliknya dan melanggar aturan standar itu.

Pada akhirnya rakyat hanya bisa menghela napas dan mengurut dada, bahwasanya antara Jokowi dan Luhut merupakan setali tiga uang. Keduanya sama-sama tak mampu bersikap sebagai pemimpin yang terhormat dan berwibawa.

Gegara ulah Luhut yang terima telepon saat Jokowi pidato. Seakan membenarkan anggapan terpendam rakyat selama ini. Luhut seorang menteri yang terkesan “sok kuasa” tak ubahnya sebagai bos yang  sebenarnya. Sementara Jokowi sang presiden, hanya anak buah yang kadung dicap presiden “boneka oligarki” dan gampang dikendalikan.

Entah apa yang sebenarnya yang terjadi dan apa makna dibalik yang terlihat dipermukaan seperti itu. Keduanya cenderung menjadi manifestasi dari gambaran keadaan negara yang sedang tidak baik-baik saja. Situasi dan kondisi suatu negara yang jauh dari ideal akibat kepemimpinan keduanya. Setidaknya perilaku mereka dan keadaan negara beda-beda tipis.

Namun apapun itu, telepon yang berdering dan berlanjut percakapan saat Jokowi sedang pidato. Menjelaskan seorang Luhut begitu miskin akhlak dalam pandangan sosial publik. Sungguh kasihan, betapa rendahnya Jokowi seiring hancurnya keberadaban dan  karut-marutnya negeri. (RMOL)

*Penulis adalah pegiat sosial dan aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari