Militer Mesir kembali ke panggung politik dengan tampilan baru dan pendekatan baru. Mereka membangun koalisi di balik penggulingan presiden dan memanfaatkan gelombang dukungan rakyat pro sekuler di Mesir.
Sekarang setelah pasukannya menewaskan sedikitnya 51 pendukung Mohammed Mursi dalam insiden pembantaian senin subuh, militer akan menghadapi berbagai pertanyaan tentang bagaimana cara kekerasan tersebut dapat menggagalkan perjuangan Ikhwanul Muslimin untuk mengembalikan presiden Mursi , tentunya dengan insiden tersebut militer hanya merusak citranya sendiri dan melemahkan dukungan dari rakyatnya.
Setelah protes oposisi pada tanggal 30 Juni, ketika jutaan orang Mesir turun ke jalan untuk menyerukan penggulingan Mursi, Militer berhasil mengangkat pesonanya saat demo berlangsung, Militer benar benar memanfaatkan ketidakpuasan masyarakat sekuler yang meluas atas presiden dari kalangan Islam dan sentimen pro-militer di kalangan pendemo.
Untuk mendapatkan sorak-sorai para demonstran, jet tempur sengaja menukik rendah di atas Kairo, unjuk kekuatan , helikopter terbang di atas kepala – menyebarkan ribuan bendera nasional Mesir dan menggambarkan hati di langit dengan asap merah. Jadilah militer meraih simpati para para demonstran dengan gemuruh teriakan “tentara dan rakyat di satu tangan,” terdengar membahana di Kairo Tahrir Square.
Kondisi itu sangat jauh dari kebencian kelompok pro-demokrasi terhadap militer pada saat jatuhnya rezim Hosni Mubarak pada tahun 2011. Bahkan militer kemudian dituduh bertindak salah kelola pada masa transisi dan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk menyiksa tahanan dan menahan 10.000 warga sipil tanpa pengadilan.
Militer sekarang mengambil simpati rakyat , yang berbeda cara dengan kepemimpinan yang berbeda pula.
Para perwira militer yang menjadi penguasa Mesir pada tahun 2011 adalah Hussein Tantawi, seorang marshal lapangan di era 70-an yang menjadi menteri pertahanan Mubarak selama dua dekade. Tantawi berhasil membuat penampilan yang diperlukan oleh rezim Mubarak saat berkuasa dengan cara otoriter.
Generasi baru, Abdel-Fattah el-Sissi, mantan kepala intelijen militer dan diangkat menjadi panglima militer dan menteri pertahanan oleh Mursi pada Agustus 2012, menggantikan seniornya , Tantawi, mentor lamanya.
El-Sissi secara luas diharapkan Ikhwanul Muslimin untuk mendukung Mursi, oleh sebab itu Al Sisi diangkat menjadi orang nomor satu di angkatan bersenjata Mesir. Tapi ternyata dugaan itu menjadi asumsi yang salah. Perwira infanteri itu mulai memberikan serangkaian tindak tanduk bahwa ia yang mengatasnamakan militer , tidak senang dengan cara Mursi dan Ikhwanul Muslimin menjalankan negara.
Ia pandai memposisikan dan mengambil simpati di tempat tempat umum, seringkali Al-Sissi menampilkan jenderal yang penuh senyum dan lebih santai dari tampilan petinggi militer biasanya. Penampilan publik berkaitan acara acara sosial seperti penyantunan anak yatim dan menjadi ikon seni lokal dan maupun sastra, menjadikan ia telah mengambil hati rakyat Mesir.
Sementara itu, el-Sissi selalu mengambil peluang pada setiap kesempatan untuk menyatakan bahwa loyalitas tentara adalah kepada rakyat dan bukan orang lain – termasuk Mursi dan Ikhwanul Muslimin-nya.
Pembantaian Senin subuh atas pendukung Mursi dan Ihwanul Muslimin menjadikan sebuah pertanyaan mendasar apakah militer akan selalu menggunakan kekuatan mematikan yang berlebihan.
“Apa kekuatan yang berlebihan? Kami sedang berurusan dengan orang yang menembaki kami dengan peluru tajam, “kata jurubicara militer , Ahmed Mohammed Ali kepada Associated Press.
Ali berbicara pada konferensi pers yang disiarkan televisi untuk menunjukkan militer pun berkabung bagi korban yang tewas atas tragedi tersebut. Kemudian ia menyatakan penyesalan atas hilangnya nyawa, tetapi tidak menerima bahwa militer menjadi tertuduh atas pembantaian tersebut.
Namun, militer mengambil serius atas tuduhan itu dengan menggunakan kekuatan yang berlebihan dan bergerak cepat untuk menghilangkan prasangka versi Ikhwan: bahwa korban dibantai pada saat sedang sholat dan korban yang tewas termasuk perempuan dan anak-anak .
Kedua belah pihak saling mensyiarkan dokumentasi video, dengan masing-masing memproduksi rekaman video yang menunjukkan pihak lawan-lah yang memulai kekerasan.
Media negara yang pro militer, menyalahkan Ikhwan yang memulai menyerang tentara dan polisi ketika massa pro Mursi menduduki halaman di depan barak garda nasional, tempat yang diyakini Mursi sedang ditahan disana. Sayangnya video yang di sampaikan tentara adalah video yang hanya menayangkan kejadian pasca pembantaian, yang menunjukkan pendukung Mursi sedang menyerang dan menargetkan tentara dan polisi dengan ketapel dan batu.
Ikhwan , sementara itu, menggunakan situs jejaring sosial dan jaringan TV simpatisan, mendistribusikan rekaman video yang menunjukkan kondisi puluhan ribu pendukung Mursi di Kairo, beberapanya menangis histeris, sementara speaker berteriak tentang kesyahidan dan perjuangan mereka melawan rejim militer yang brutal.
Di satu sisi , Syeikh Al-Azhar , Ahmed el Tayeb, dengan sikapnya untuk menekan militer Mesir , dengan mengatakan ia akan mengasingkan diri di rumah saja sebagai protes dan ia tidak akan muncul dari rumahnya sampai pertumpahan darah berakhir. Dia juga memperingatkan bahaya akan terjadinya perang saudara.
Militer juga menangkis kritik yang mengatakan penggulingan atas Mursi adalah kudeta, karena banyak orang Mesir masih percaya, langkah militer hanyalah mendukung pemberontakan rakyat (rakyat yang mana ?).
“Kematian yang begitu banyak di tangan tentara hanya akan mendukung persepsi bahwa itu adalah kudeta militer dan bahwa tentara hanya tahunya : bahasa kekerasan,” kata Gamal Eid, kepala Jaringan Arab yang berbasis di Kairo untuk Hak Asasi Manusia . ” Bahkan Komentar juru bicara militer hanya menambah pengertian dan gambaran bahwa militer dalam kekuasaan adalah kebal dari pertanggungjawaban.” (Arby/Dz)