Oleh ; Harits Abu Ulya
(Ketua Lajnah Siyasiyah DPP-HTI)
Setelah meredanya konflik Aceh paska MoU Helsinsky, kini tidak bisa di pungkiri adanya gejolak yang kembali menyeruak ke permukaan di Papua. Dan intensitas gejolak lebih besar dalam bentuk aksi-aksi politis yang dilakukan elemen sipil dan bukan dari elemen sipil bersenjata (sayap militer dari gerakan OPM). Seperti demontrasi besar yang terjadi pada tanggal 18 Juni dan kemudian dilanjutkan aksi ribuan warga papua pada tanggal 8 Juli 2010.
Aksi pada awal bulan Juli lalu di kordinir oleh Forum Demokrasi Rakyat Papua Bersatu (FDRPB), sebuah forum yang menghimpun elemen-elemen sipil terdiri dari; DAP,PDP,WPNA,Solidaritas Perempuan Papua, PGGP, Sinode GKI, GIDI, Kemah Injil, Baptis Papua, Pantekosta, KNPB, AMPPTPI, AMWP, Front Papera, Garda-P, Forum Independen Mahasiswa, BEM/Senat Mahasiswa Se-Jayapura, dan OKP-OKP se-kota/Kab. Jayapura-Sarmi-Kerom.
Dengan semboyan “Satu tanah, satu hati, satu bangsa dan satu tujuan”, mereka bergerak menyampaikan tuntutan mendesak DPRP melaksanakan sidang paripurna menindaklanjuti aksi demo tanggal 18 Juni 2010 dalam rangka menyerahkan hasil musyawarah masyarakat Papua. Dan esensi tuntutannya adalah mengembalikan Otsus (otonomi khusus) dan dilaksanakannya Referendum.
Ini sebuah tantangan sekaligus tamparan terhadap pemerintah Indonesia, komitmennya terhadap keutuhan NKRI di uji tidak hanya dilevel simbol atau jargon tapi memaknai keutuhan tersebut dalam bentuk tanggung jawab menjadikan setiap jengkal wilayah yang ada dalam bingkai NKRI tetap utuh dan penghuni (warga negaranya) mendapatkan jaminan hidup yang layak dalam segala aspek. Tanpa lagi memandang suku, dan atribut-atribut kedaerahan lainya.Berdiri sama tinggi sebagai warga negara untuk mendapatkan layanan dan pemeliharaan urusan mereka oleh penguasa dan para pemimpinnya.
Maka saatnya Pemerintah betul-betul mau evaluasi diri, terkait peran dan fungsinya dalam mewujudkan kemaslahatan bagi WNI yang ada di wilayah Papua. Jika tidak cermat, maka meniscayakan Papua mengalami kontraksi politik yang bermuara dis-integrasi seperti tragedi lepasnya Timor-Timur dari pangkuan NKRI.
Maka pertanyaan spesifik perlu diajukan, apakah sebenarnya yang menjadi faktor pemicu kontraksi sosial-politik di wilayah papua ? dan apa keuntungannya jika Papua lepas dari NKRI? Dan bagaimana Islam memandang dis-integrasi?
Papua wilayah sarat potensi strategis
Sejak New York Agreement ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 1962 antara pemerintah Indonesia dan Belanda atas inisiatif PBB, Papua menjadi wilayah RI. Setelah berada di bawah penguasaan Indonesia, wilayah ini dikenal sebagai Provinsi Irian Barat sejak tahun 1969 hingga 1973. Namanya kemudian diganti menjadi Irian Jaya oleh Soeharto pada saat meresmikan tambang tembaga dan emas Freeport, nama yang tetap digunakan secara resmi hingga tahun 2002.
Nama provinsi ini diganti menjadi Papua sesuai UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Pada 2003, disertai oleh berbagai protes (penggabungan Papua Tengah dan Papua Timur), Papua dibagi menjadi dua provinsi oleh pemerintah Indonesia; bagian timur tetap memakai nama Papua sedangkan bagian baratnya menjadi Provinsi Irian Jaya Barat (setahun kemudian menjadi Papua Barat). Bagian timur inilah yang menjadi wilayah Provinsi Papua pada saat ini.
Melalui Inpres No 1 tahun 2003 Papua akhirnya di mekarkan menjadi dua provinsi yaitu Papua dan Papua Barat, dan saat ini muncul wacana dan rencana pemekaran lagi dengan provinsi baru yaitu Papua Tengah.Dua provinsi di Papua dengan jumlah penduduk sekitar 2.930.000 jiwa, dengan tingkat kepadatan penduduk 9 jiwa/km² dimana sekitar 1,5 juta penduduk asli dari ras Malenesia dan sisanya datang dari luar pulau Papua, (Papua 52%, Non Papua/Pendatang 48%) dan mayoritas penduduk terkosentrasi di pedalaman dengan rumah honai-honainya dan sebagian lainya di pesisir pantai.
Dengan sebaran yang tidak merata menghuni wilayah yang luasnya 309.934,4 km² sama dengan 3,5 kali pulau Jawa. Dengan di bagi lebih dari 25 kabupaten dan 214 distrik (kecamatan) lebih. Sebuah wilayah pegunungan yang subur dengan kandungan mineral dan potensi SDA yang melimpah; dari mulai hutan, tambang emas, tembaga dan uranium.Begitu juga dari sisi geopolitik memiliki potensi strategis.
Dengan potensi SDA yang dikandung demikian besar di wilayah Papua, tidak berbanding lurus dengan tingkat Indek Pembangunan Manusia(IPM) bagi masyarakat Papua, begitu juga tidak selaras dengan pertumbuhan dan tingkat kesejahteraan masyarakat Papua.
Papua termasuk IPM-nya paling rendah dibanding seluruh provinsi yang ada di Indonesia. Demikian juga, tingkat kemiskinan yang sangat merisaukan. Masih banyak masyarakat yang tidak terjangkau oleh peradaban ‘modern’, dan masih banyak dalam kondisi ‘keterbelakangan”.
Papua telah terbukti memberikan banyak keuntungan dengan kandungan kekayaan alamnya yang melimpah kepada perusahaan lokal, nasional maupun multinasional (Asing), namun lagi-lagi fakta menunjukkan masyarakat yang menghuni negeri kaya tersebut masih banyak yang terpinggirkan secara ekonomi dan tidak mengalami kebangkitan dalam seluruh aspek kehidupannya.Papua seolah menjadi pundi-pundi kekayaan dan sapi perah kepentingan para penguasanya.
Latar belakang tuntutan referendum
Sekalipun pemerintah Indonesia melalui Otonomi Khusus Papua yang dituangkan dalam UU No 21 Tahun 2001 berusaha merubah keadaan diatas. Justru saat ini menjadi bumerang, karena Otsus Papua setelah berjalan 9 tahun dirasakan tidak memberikan pengaruh signifikan kecuali kepada segelintir elit politiknya. Dana Otsus yang mencapai rata-rata 10juta/warga Papua juga tidak memberikan perubahan berarti.
Kondisi ini yang menstimulasi sebagian masyarakat Papua (lebih tepatnya; elit politiknya) menyuarakan tuntutan referendum (yang arahnya adalah merdeka atau minimal format Federalism) dianggap sebagai opsi final untuk merubah keadaan itu semua. Dan Otsus di kembalikan ke Jakarta (Pemerintah Indonesia), karena Otsus tidak menghasilkan apapun kecuali ‘kedzaliman’ terstruktur di tanah Papua. Ada beberapa analisa alasan krusial kenapa wacana Referendum mencuat:
Pertama; karena Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonom Khusus untuk Provinsi Papua tidak dilaksanakan secara penuh dan konsisten serta serius oleh pemerintah pusat dan daerah. Rakyat Papua menuntut referendum setelah mereka mengevaluasi Implemetansi UU Otsus melalui Musyawarah Besar (Mubes) yang dilaksanakan tanggal 9-10 Juni 2001 di Jayapura.
Ketidak seriusan ini terlihat adanya kebijakan-kebijakan yang kontra dengan UU Otsus Papua tersebut. Seperti yang di sinyalir oleh Analis politik Elsam Amirudin Al Rahab mengatakan, hampir semua lembaga negara tidak mempelajari dengan baik Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua nomor 21 tahun 2001. Malah justru menghancurkannya. “Undang-Undang Otsus Papua sudah tidak bisa dipakai lagi. Karena sudah diubah dengan 15 produk aturan lain yang saling bertentangan,”(TempoInteraktif.24/2).
Dan kontradiksi di tingkat regulasi inilah secara faktual menjadi kendala dan munculnya problem-problem implementasi di lapangan. Sehingga UU Otsus seperti tidak bergigi, misal secara faktual di lapangan ditemukan Pemerintah Provinsi Papua mengaku hingga saat ini hanya ada sekitar 20 persen dari 380-an pemerintahan distrik atau kecamatan yang melaksanakan aktivitasnya dengan baik.
Kondisi tersebut disebabkan masih minimnya sarana dan prasarana bagi pemerintahan distrik itu. Pemerintahan distrik sangat sedikit sekali melakukan pelayanan ke masyarakat. Paling hanya distrik yang bekas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara saja yang jalan mendorong pembangunan.
Tergambar jelas bagaimana lemahnya proses integrasi yang dilakukan pemerintah Indonesia dengan pendekatan pelayanan dan kesejahteraan sangat minim dan mandeknya operasi teritorial dengan substansi kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran. Jika distrik adalah ujung tombak pemerintah terdepan tidak memiliki kapasitas untuk membangun maka perubahan nasib warga papua seperti mengantang asap.
Kedua; secara substansi UU Otsus Papua mengandung blunder politik, terkait dengan struktur pemerintahan dan peran lembaga-lembaga adat/kultural dalam mengkonstruksi kebijakan-kebijakan politik di level Papua. Pemerintah dianggap tidak akomodatif terhadap pandangan/pendapat dari MRP (Majlis Rakyat Papua) yang dipandang sebagai lembaga representatif kulturalnya. Maka penolakan rekomendasi-rekomendasi MRP menjadi salah satu pemicu ketidakpuasan dan justifikasi pemerintah memberlakukan dualisme antara UU No 21 Tahun 2001 dan UU No32 Tahun 2004.
Ketiga; UU No 21 Tahun 2001 tentang Otsus papua dengan 79 pasal yang diundangkan pada 21 November 2001 di masa Presiden Megawati dimana SBY saat itu menjabat Menkopolhukam.Yang paling krusial adalah pemerintah dianggap tidak komitmen terhadap realisasi pasal 34 undang-undang ini, terkait ayat (3) Dana Perimbangan bagian Provinsi Papua, Kabupaten/Kota dalam rangka Otonomi Khusus, tidak ada realisasi atas pembagian hasil Sumber Daya Alam (SDA) Papua antara Papua dan Jakarta sebagaimana yang diamanatkan Pasal 34 UU Otsus Papua.
Keempat; Pelanggaran Hak-hak asasi Manusia yang dilakukan sejak 1963 hingga kini belum diinvesitigasi padahal,UU Otsus Papua menghendaki hal itu. Para korban pelanggaran HAM dibiarkan. Orang Papua belum merasakan keadilan. Oleh sebab itu, bagi orang Papua, pemerintah gagal melaksanakan UU Otsus Papua. Karena tidak merasakan manfaatnya maka rakyat Papua mengembalikan UU Otsus secara simbolik kepada pemiliknya yakni pemerintah melalui DPR Papua dan menuntut referendum.
Dan akhirnya dari seluruh akibat dari ketidakseriusan pemerintah ini ditanggung oleh orang Papua. Sekalipun triliunan rupiah sudah dikucurkan, mayoritas orang Papua masih hidup dibawah garis kemiskinan. Sembilan tahun implementasi UU Otsus belum meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua secara signifikan.
Pemerintah harus belajar dari pengalaman
Untuk menghilangkan tuntutan referendum dari Tanah Papua, maka Faktor-faktor penyebab yang memunculkan tuntutan ini perlu dipecahkan.Lepasnya Timor-Timor menjadi pengalaman sangat pahit, dan Papua jauh lebih besar potensi SDA nya dibanding Timor-Timur. Jika penguasa saat ini tidakmerubah paradigma dan orentasi pembangunannya maka niscaya akan menelan buah simalakama demokrasinya.
Dalam ruang demokrasi tidak ada lagi sumbatan bagi setiap warga khususnya warga Papua untuk menyeruakan keinginannya, bahkan tidak hanya berbicara di daerah, tapi juga akan bicara di forum-forum internasional termasuk di PBB.Terlebih lagi Papua adalah ladang subur tempat melapiaskan ketamakan para kapitalis Barat melalui instrumen negaranya untuk melakukan imperialisasi dan memposisikan Papua dalam subordinat kepentingan mereka.
Indonesia harus mencermati “dalang” dibalik tuntutan referendum ini, karena sebenarnya masyarakat kecil kebanyakan tidak begitu paham dengan perihal referendum tersebut. Sekelompok elit politik-lah yang sebenarnya bermain, dengan membangun jejaring baik di pusat kekuasaan maupun jejaring Internasional (dengan gereja dan LSM-LSM asing) .
Namun sesungguhnya kalau di cermati, kepetingal Global yang memainkan peran penting di Papua. Semacam simbiosis mutualisme antara kepentingan Global Barat dengan kelompok opurtunis lokal, namun sesungguhnya Baratlah yang memiliki dominan kepentingan dan keuntungan dengan “kemerdekaan” atau “federalism” kelak yang sekarang di usahakan melalui isu referendum dalam ruang demokrasi dan bendera HAM yang usung.
Fakta, Papua terletak di pantai Selatan timur Indonesia dan dianggap sebagai tambang emas dan tembaga terbesar di dunia berlokasi di sini dan 80% dimiliki oleh perusahaan Amerika (Freeport McCarron) dan melakukan ekstraksi emas sejak tahun 1967.
Dan banyak indikator yang menunjukkannya adanya dukungan Australia dalam membantu para pemberontak di Papua baik secara langsung atau melalui New Guinea, yang juga menyediakan tempat yang aman kepada para pemberontak separatis di samping dukungan finansial dan militer.
Hal ini adalah kebijakan yang sama yang telah dilakukan Australia terhadap provinsi-provinsi di Indonesia selama puluhan tahun, yang secara terbuka terlihat dalam kasus Aceh dan secara diam-diam dalam kasus Timor Timur.
Begitu juga Amerika mulai mengungkapkan keprihatinan besarnya atas konflik di provinsi Papua ketika tahun 2005 Kongres AS memutuskan untuk menerapkan klausul berdasarkan mana Papua telah menjadi bagian dari Indonesia.
Pada bulan Juni 2007, Utusan Khusus HAM Sekjen PBB, Hina Jilani mengunjungi propinsi Aceh dan Papua dan membahas ‘pelanggaran HAM di dua provinsi, dengan menyatakan, "Saya menunggu tanggapan dari pemerintah Indonesia untuk mengatasi masalah-masalah HAM".
Pada bulan Juli 2007 ketua Subkomite Parlemen (Kongres AS) di Asia, Pasifik dan Global, Eni Faleomavaega, mengatakan, "Jika pemerintah Indonesia tidak mampu menangani dengan baik isu Papua, kami akan memberikan kemerdekaannya."
Hal ini menunjukkan niat Amerika dan Australia untuk campur tangan dalam konflik Indonesia di provinsi ini, sama seperti yang dilakukan sebelumnya di propinsi Aceh dan Timor Timur sehingga untuk melakukan hal ini Australia melakukannya dengan cara yang sepadan dengan kepentingannya.
Pandangan Islam
Papua adalah bagian dari Indonesia, karena itu wajib untuk mencegah para penguasa Indonesia menyerahkannya seperti diserahkannya Timor Timur, terlepas dari apa pun tekanan eksternal yang dilakukan, dan terlepas dari hilangnya nyawa dalam memerangai pemberontak.
Dan untuk mereduksi pengaruh dan provokasi Gereja (Kaum Kristen di sana), adalah wajib bagi umat Islam untuk menyebarkan seruan Islam, yang selaras dengan akal manusia dan alam, di antara orang Kristen di sana, dengan mengundang mereka dan lakukan perdebatan dengan mereka dengan cara terbaik, dan mengingatkan mereka bahwa hak-hak orang Kristen.
Dan penguasa harus menyadari substansi politik yang sekuler yang menjadikan budaya politik dan struktur politiknya tidak memiliki kapasitas untuk membangun seluruh wilayah NKRI termasuk Papua di dalamnya menjadi makmur, sejahtera dan berkeadilan.
Penguasa saatnya kembali kepada sistem Islam menjadi sebuah negara adidaya menerapkan hukum Syariah yang berasal dari Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya atas semua orang di Negara itu tanpa diskriminasi antara satu provinsi dan lainnya, dan dimana semua orang yang memiliki kewarganegaraan negara, akan memiliki hak yang sama terlepas dari keturunan mereka atau agama mereka.
Dan yang akan mengawasi Dakwah Islam dan penyebaran Islam di antara masyarakat dan juga akan mencegah kegiatan separatis dan menanganinya secara adil antara masayrakat.
Sistem politik Islam adalah sistem kesatuan dan bukan sistem federal, tidak akan ada daerah otonomi atau hukum yang berbeda dalam satu provinsi dengan seluruh provinsi lain. Hukum-hukum syariat yang diterapkan di Ibukota negara juga akan dilaksanakan di seluruh provinsi lainnya tanpa perubahan apapun.
Tidak ada diskriminasi atau pembagian antar propinsi, dan pemerintahan tidak dibagi diantara provinsi karena dan ini didasarkan atas dasar yang kokoh dan kuat dari Akidah Islam yang memberikan keadilan untuk semua orang tanpa diskriminasi.
Allah SWT berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” [QS An Nahl: 97]
Dan Dia berfirman:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا
"Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". [QS: Taha: 124]
Wallahu a’lam bisshowab.