Nampaknya pemerintah tidak main–main, new normal harga mati. Namun dibalik itu ada sisi yang mengkhawatirkan publik, yaitu pengerahan personil keamanan demikian banyak. Itu mengandung resiko tinggi. Rentan konflik. Sulit membayangkan manakala aparat keamanan berhadap–hadapan dengan rakyat dalam posisi keduanya tersulut emosi. Masyarakat akan ditertibkan dengan disiplin militer. Berwatak komando. Pemerintah dinilai bermain api. Diibaratkan “menggendong” bom waktu.
Pasalnya, kredibiltas pemerintah cenderung merosot sejak pandemi di bulan Maret. Lembaga Survey Indobarometer merilis hasil survey (26/05): 53,8 persen warga tidak puas dengan cara pemerintahan Jokowi-Maruf Amin dalam menangani wabah corona. Hasil survey menyebutkan, “masyarakat menilai kebijakan Jokowi tidak konsisten; pemerintah dianggap lambat dalam mendistribusikan bantuan sosial; data penerima bantuan juga tidak akurat dan masyarakat menilai penanganan secara umum lambat.”
Tumpukan jerami kekecewaan masyarakat rentan percikan korek api kelompok yang kadung kecewa berat. Tindakan tegas aparat mendisiplikan warga bisa fatal. Bisa berdampak luas. Kekecewaan terpendam kepada pemerintah berpotensi meletup tidak terkontrol. Rakyat yang lapar gampang gelap mata. Perlawanan masyarakat dapat bereskalasi menjadi civil disobediensce alias pembangkangan sipil. Sebagai ekspressi perlawanan atas tindakan yang dianggap kurang adil. Isu politisasi dan korupsi dana bansos (bantuan sosial) oleh aparat melukai hati rakyat banyak yang sedang menderita. Inilah jerami kering ketidakadilan itu.
Apalagi, akhir–akhir ini semua media televisi di Indonesia intensif menyiarkan berita “pembangkangan sipil” di Amerika Serikat terkait terbunuhnya lelaki berkulit hitam yang bernama George Floyd oleh polisi berkulit putih, Derek Chauvin, Senin (2505) di Minnepolis. Kerusuhan berlangsung sudah seminggu lebih siang dan malam. Pengrusakan dan penjarahan pusat pertokoan berkecamuk hampir di seluruh negara bagian sampai hari ini. Kerusuhan yang dilabeli sebagai perlawan atas ketidak adilan negara kepada warganegara.
Buruknya kordinasi internal kabinet Jokowi tercermin lewat banyaknya narasi menteri yang jalan sendiri–sendiri. Bahkan seringkali bertabrakan satu sama lain memperburuk situasi. Narasi juru bicara Istana dan aneka macam pejabat dari KSP (Kantor Staf Presiden) sering sarkastis memperburuk keadaan. Termasuk adanya pernyataan Jokowi yang banyak yang paradoks. Menambah runyam keadaan. Menimbulkan kebingungan dan mengurangi kepercayaan masyarakat.