Kelompok etnis adalah suatu kelompok yang memiliki persamaan dalam bahasa atau budaya (ICTR – International Criminal Tribunal for Rwanda, Putusan Akayesu); atau kelompok yang membedakan dirinya sendiri, atau kelompok yang diidentifikasikan oleh kelompok lainnya, termasuk pelaku kejahatan (diidentifikasikan oleh kelompok lain). (ICTR – International Criminal Tribunal for Rwanda, Putusan Kayishema dan Ruzindana.
Kelompok ras adalah suatu kelompok yang didasarkan pada ciri-ciri fisik yang turun temurun yang seringkali diidentifikasikan dengan wilayah geografis, selain bahasa, kebudayaan, kewarganegaraan serta agama. (ICTR – International Criminal Tribunal for Rwanda, Putusan Akayesu)
Kelompok agama adalah suatu kelompok di mana anggotanya memiliki agama, serta bentuk pemujaan yang sama. (ICTR – International Criminal Tribunal for Rwanda, Putusan Akayesu).
Berdasarkan penjelasan saya diatas, saya berpendapat bahwa yang terjadi di uyghur adalah kejahatan kemanusian.
Saya menyeru kepada seluruh manusia yang masih memiliki hati nurani untuk bertindak menghentikan kejahatan kemanusian tersebut. Dan saya juga menyeru kepada UN, ICC, ASEAN dan OKI untuk segera terlibat aktf, serius untuk menghentikan Pemerintah China agar tidak berdampak lebih serius.
Dengan adanya kewenangan OTP (bisa dipadankan sebagai jaksa atau penuntut) dari ICC tidak harus bersifat pasif dan menunggu adanya laporan. Dalam konteks Rome Statute of the International Criminal Court (“Statuta Roma”), proprio motu adalah kewenangan yang diberikan oleh Statuta Roma kepada Office of the Prosecutor (“OTP”) di International Criminal Court (“ICC”), untuk memulai investigasi atas kejahatan internasional yang menjadi yurisdiksi ICC, yakni genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi (lihat Pasal 5 Statuta Roma)
Menurut Siebert Fohr dalam makalahnya berjudul The Relevance of the Rome Statute of the International Criminal Court for Amnesties and Truth Commissions, kewenangan ini diberikan kepada OTP untuk mengatasi keengganan negara pihak Statuta Roma atau Dewan Keamanan PBB untuk melaporkan kejahatan internasional, karena alasan-alasan politis.
Tentunya, kewenangan ini tidak bisa langsung dilaksanakan tanpa adanya tahapan dan pertimbangan. Berdasarkan Pasal 15 ayat 2 Statuta Roma, sebelum melaksanakan investigasi proprio motu, OTP harus mengumpulkan informasi selengkap-lengkapnya dari negara yang berkepentingan, badan-badan PBB, organisasi internasional (pemerintah dan non-pemerintah), dan sumber lain yang dapat dipercaya.
Setelah informasi selesai dikumpulkan, OTP lalu mengajukan permohonan investigasi pada pre-trial chamber ICC (majelis hakim yang bertugas untuk menentukan investigasi, surat penangkapan, dan hal-hal lain yang diperlukan untuk jalannya persidangan ICC). Dalam laporannya, OTP harus menunjukkan informasi dan aspek-aspek terkait secara jelas kepada pre-trial chamber (lihat Pasal 15 ayat 3 Statuta Roma).
Ada lima aspek yang harus dipertegas oleh OTP yakni:
1. Derajat kejahatan (scale of the crimes);
2. Tingkat kekejaman kejahatan (the severity of the crimes);
3. Sifat sistematis dari kejahatan (the systematic nature of the crimes);
4. Bagaimana kejahatan itu dilakukan (the manner in which they were committed); dan
5. Dampak kejahatan kepada korban (the impact on victims).
Kelima aspek ini lazim disebut dengan _lgravity threshold atau gravity requirements. Setelah disetujui, jaksa dapat melaksanakan investigasi atas kejahatan internasional yang telah terjadi. ketentuan proprio motu dalam Statuta Roma adalah hal yang menjadi pembeda ICC dengan pengadilan internasional lainnya seperti International Criminal Tribunal for Rwanda atau International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia.
Wallahualambishawab. (end/glr)
*) Penulis:Chandra Purna Irawan,S.H.,M.H.*
Ketua Eksekutif Nasional BHP KSHUMI dan Sekjend LBH PELITA UMAT