Kedua, perubahan UUD dapat dilakukan secara referendum atas rancangan perubahan yang disiapkan oleh komisi negara yang dibentuk oleh presiden. “MPR harus mengesahkan hasil referendum tanpa pemungutan suara lagi. Jika alternatif ini yang dipilih maka bersamaan dengan perubahan atas pasal 37 harus pula diubah ketentuan pasal 2 ayat (3) yang menentukan bahwa segala keputusan MPR ditetapkan berdasarkan suara yang terbanyak agar terbuka kemungkinan untuk MPR langsung menyetujui hasil referendum,” ujarnya.
Alternatif-alternatif lain, kata Mahfud tentang cara perubahan UUD masih perlu dikemukakan, namun yang terpenting pasal 37 yang berlaku sekarang harus diamandemen dulu. “Tanpa perubahan lebih dulu pasal 37 UUD 1945 hasil amandemen yang berlaku sekarang, hampir tak mungkinlah kita dapat melakukan amandemen lanjutan atas UUD 1945 secara komprehensif,” tandasnya.
3. MK tidak berwenang mengganti atau memasukkan norma baru ke dalam materi muatan (ayat, pasal dan/atau bagian) UU yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Cupilkannya :
Salah satu wewenang Mahkamah Konsitusi (“MK”) adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang (“UU”) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”).
Demikian diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945dan Pasal 10 ayat (1) huruf a UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Sehubungan dengan wewenang MK untuk menguji UU terhadap UUD 1945 (judicial review) tersebut, amar putusan MK dapat berupa:
– menyatakan permohonan tidak dapat diterima dalam hal pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dan Pasal 51
– menyatakan permohonan dikabulkan dalam hal;
a. MK berpendapat bahwa permohonan beralasan, atau
b. pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
– menyatakan permohonan ditolakdalam hal UU dimaksud tidak bertentangan dengan UUD 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan.
(Lihat Pasal 56 UU 24/2003)
Dalam hal MK menyatakan UU yang diuji bertentangan dengan UUD 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan, maka akibat hukumnya adalah:
– materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian UU tersebuttidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; atau
– UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (dalam hal pembentukan UU dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945).
Putusan MK yang mengabulkan permohonan wajib dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 hari kerja sejak putusan diucapkan. Demikian diatur dalam Pasal 57 UU 24/2003.
Jadi, dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa MK tidak berwenang mengganti atau memasukkan norma baru ke dalam materi muatan (ayat, pasal dan/atau bagian) UU yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Hal tersebut juga ditegaskan oleh Jimly Asshiddiqie pada saat menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi. Dia menyatakan bahwa posisi MK adalah sebagai negative legislator. Artinya, MK hanya bisa memutus sebuah norma dalam UU bertentangan konstitusi, tanpa boleh memasukan norma baru ke dalam UU.
Kesimpulannya : Keputusan MK yang menyatakan bahwa pasal 6A ayat 3 butir 2 tidak berlaku jika cuma dua pasangan calon tidak mempunyai hukum mengikat. MK tidak berhak merubah dan menambah norma dalam UUD 1945. Yang berhak merubah UUD 1945 wewenang MPR. Dan kata Prof. Mahfud MD perubahan amandemen tambahan UUD 45 bisa terjadi jika mengubah dulu pasal 37.
Melihat hal di atas keputusan MK tentang UUD 1945 pasal 6 ayat 6A butir 2 tidak berlaku jika dua paslon tidak tetap dan mengikat. Karena tidak ada perubahan amandemen lanjutan UUD 45 yang mengatur hal tersebut. Sedang yang berhak mengubah UUD 45 adalah MPR bukan MK.
Jadi setelah mempelajari kajian para pakar dan akhli hukum, tentu menjadi masalah besar bagi bangsa ini. Bagai buah simalakama. Dilantik melanggar UUD 1945, tidak dilantik terjadi kekosongan pemerintahan. Maka harus ada cara yang bukan soal legowo atau tidak sebab hukum harus dijunjung walau langit mau runtuh.
Apakah power sharing bisa menjadi jalan keluar? Tentu tidak mudah, sebab apakah sesuai dengan UUD 1945?
Persoalan besar yang bergelayut di bangsa ini membutuhkan sebuah penyelesaian. Butuh kenegarawanan dan juga butuh berfikir tentang masa depan bangsa.
Kemungkinan bisa jadi MPR melakukan Sidang Umum Istimewa untuk mengambil keputusan kembali ke UUD 1945 Asli dan segerah dibentuk MPRS dengan tugas memilih Presiden dan wakil presiden.
Apakah itu mungkin? Sekali lagi butuh kenegarawanan yang memang memahami apa itu Nasionalis Kebangsaan yang berdasarkan Pancasila. [end/glr]
Penulis: Prihandoyo Kuswanto, Penggiat Rumah Pancasila.