by M Rizal Fadillah
Baru juga hitungan hari Kabinet Merah Putih Prabowo sudah brat bret brot. Personalianya mulai ribet dan tidak ajeg. Ada yang membuat teror, kampungan, tukang aju proposal dan mencla-mencle. Yang membuat teror adalah Wapres Fufufafa Gibran bergerak ala mafia bersama TRIAD China, kampungan Mendes & DT Yandri memanfaatkan fasilitas kementrian untuk haul almarhum ibunya. Pigai Menteri HAM ajukan proposal 20 trilyun. Yang mencla mencle, ya Menko Hukum HAM Yusril.
Yusril Ihza Mahendra menyatakan Peristiwa 1998 bukan pelanggaran HAM berat. Pernyataan itu diklarifikasi oleh yang bersangkutan dengan alasan tidak jelas pertanyaan. Yang dimaksud adalah tidak adanya genosida atau ethnic cleansing. Benar Peristiwa 1998 tidak semua dikategorikan pelanggaran HAM berat tetapi Yusril pasti tahu Laporan Tim PPHAM yang dibentuk berdasar Kepres 17 tahun 2022.
Sekurangnya ada 3 (tiga) kasus pelanggaran HAM berat yang dilaporkan yaitu Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 dan Peristiwa Trisakti dan Semanggi I dan II 1998-1999. Peristiwa ini diduga melibatkan Prabowo yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad. Mungkin pertanyaan insan media mengarah pada peristiwa ini dan dijawab Yusril pertama dengan mencla kemudian mencle.
Jerat Jokowi melalui Kepres 17 tahun 2022 bakal menyulitkan Yusril. Pembela Jokowi itu kini harus membela Prabowo atas serangan HAM berat Jokowi. Ketika Peristiwa 1998 ditanyakan wartawan Yusril gagap menjawab. Dengan Inpres 2 tahun 2023 dan Kepres 4 tahun 2023 Yusril harus menindaklanjuti temuan Tim PPHAM yang berdasar Rekomendasi Komnas HAM. Prabowo sebagai “tertuduh”.
Di sisi lain kepakaran hukum ternasuk jabatan Menko saat ini akan menekan dirinya untuk mempermasalahkan Kepres 17 tahun 2022 dan aturan turunannya, sebab Kepres 17 tahun 2022 itu sangat jelas bertentangan dengan UU 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Undang-Undang ini tidak memberi ruang bagi “Penyelesaian Non-Yudisial”. Semua kasus pelanggaran HAM berat harus dibawa ke meja Pengadilan HAM.
Berdasarkan UU No 26 tahun 2000 dan temuan Tim PPHAM serta rekomendasi Komnas HAM, maka sudah menjadi konsekuensi logis bahwa Prabowo harus diminta pertanggungjawabannya di depan Pengadilan. Merangkul korban penculikan dan mengajak bergabung dalam Partai Gerindra tidak bisa menghapuskan kewajiban hukum tersebut.
Menko Hukum, Ham, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra pun akhirnya dibuat gagap.
Agar tidak gagap baiknya Pak Yusril bersikap :
Pertama, demi hukum menyampaikan pandangan tidak keberatan Prabowo diproses hukum di Pengadilan HAM atas tuduhan pelanggaran HAM berat, jadikan perangkulan aktivis di Partai Gerindra sebagai alasan pemaaf. Dalil ini bagus digunakan untuk pembelaan (pledoi).
Kedua, balas saja tekanan atau jeratan Jokowi atas penetapan Peristiwa 1998 sebagai pelanggaran HAM berat dengan mengejar pelanggaran HAM berat yang dilakukan Jokowi misalnya membuka kembali kasus pembunuhan Km 50. Jokowi sebagai Presiden harus ikut bertanggungjawab. Dalam kasus pembunuhan politik ini dimungkinkan atau bisa saja Jokowi berperan sebagai aktor intelektual.
Tanpa ada kesiapan untuk menegakkan hukum dan menjaga Hak Asasi Manusia, maka Menko Yusril akan tetap gagap selamanya. Sementara rakyat yang sudah memandang miring akan kepakaran Yusril semakin nyinyir menyindir atau terbahak menertawakan.
Yusril bakal menjadi badut istana (court jester) baru yang lucu tapi mengenaskan.
Dalam buku “Fools Are Everywhere” (2001) Beatrice K Otto berceritra tentang badut istana (court jester) di berbagai belahan dunia yang kontroversial tetapi di pelihara, dilindungi, dan didengar oleh istana.
Entah di Istana Prabowo siapa yang akan lebih dominan sebagai badut apakah Gus Miftah, Raffi Ahmad, Babe Haikal atau Yusril Ihza ?
Konon Ali Mochtar Ngabalin sudah lebih dahulu tersingkir eh…tersungkur.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 24 Oktober 2024