Oleh: Ali Mustafa Akbar
“SUDAH jatuh terimpa tangga pula,” begitu kira-kira menggambarkannestapa saudara Muslim Rohingya saat ini. Sudah terusir dan teraniaya dari negerinya, sekarang dibuly dengan narasi-narasi kejam oleh netizen Indonesia.
Etnis Rohingta, sering digambarkan sebagai orang-orang yang paling sering mengalami persekusi di dunia. Mereka ditolak di negara sendiri, tidak diterima oleh beberapa negara, hidup miskin, tak punya kewarganegaraan, serta dipaksa meninggalkan negerinya dibeberapa dekade ini.
Padahal sebelumnya mereka merupakan komunitas Muslim yang sudah tinggal berabad-abad lamanya di sana, mereka absah dan diakui sebagai warga negara bahkan juga ketika Inggris berkuasa di Burma, Rohingya menjadi bagian tak terpisahkan dari negara itu.
Hingga ikut andil dalam kemerdekaan Burma tahun 1948. Sekarang bernama Myanmar.
Keadaan berbanding terbalik sejak kudeta militer oleh Jenderal Ne Win dari Partai Sosialis Burma pada 1962. Komunitas Muslim di Myanmar terutama Rohingya mendapat perlakuan diskriminatif, mereka tidak dianggap sebagai warga asli Myanmar.
Puncaknya di tahun 2017 ribuan Muslim myanmar terbunuh oleh tentara Myanmar. Dunia mengutuk peristiwa ini dengan menyebutnya sebagai genosida.
Pengungsi Rohingya di Aceh
Dalam kurun waktu 14-21 November 2023 ini, ada 1.084 pengungsi Rohingya yang datang ke Sabang, Aceh. Mereka datang dengan menumpangi kapal milik warga Bangladesh.
Menurut UNHCR, bahwa per 31 Oktober 2023, lebih dari sejuta pengungsi Rohingya pergi ke berbagai negara untuk mencari perlindungan (Detik, 04/12/33). Beberapa negara menjadi labuhan mereka adalah Arab Saudi, Malaysia, Bangladesh, Indonesia, dan lainnya.
Derita saudara Muslim Rohingya menambah pelik kisah umat Islam di penjuru dunia yang saat ini dalam kondisi yang memprihatinkan. Menjadi manusia perahu serta “mengemis” ke negara manca tentulah bukanlah keinginan terbaik meraka, siapapun, ingin hidup tenteram di negerinya sendiri.
Kedatangan Muslim Rohingya di negeri ini kini makin menghangat kembali. Permasalahan bertambah runyam karena muncul narasi-narasi negatif terhadap Muslim Rohingya distigmakan sebagai pelaku tindak berbagai aktivitas kriminal seperti pencurian, pemerkosaan, dan seterusnya.
Menanggapi hal ini Ketua MPU Aceh, Abu Faisal Ali, menyampaikan: “Jangan sampai, karena banyaknya pemberitaan negatif yang menggambarkan kekurangan-kekurangan mereka, seolah menepis dan menihilkan kewajiban kita sesama Muslim ataupun sekadar selaku manusia,” katanya.
Sementara cendikiawan Muslim Aceh, Adli Abdullah mengatkan, “Saya kira kita tetap membangun simpati terhadap masyarakat Rohingya yang terzalimi dan memang kalau ada yang terlibat human traficking harus ditindak. Jangan mencari keuntungan di atas penderitaan orang Rohingya. Semoga etnis Rohingya segera merdeka dunia akhirat,” tegas dosen Universitas Syah Kuala ini.
Persoalan Umat Islam
Apa yang terjadi kepada Muslim Rohingya sejatinya juga merupakan persoalan umat Islam seluruh dunia terutama saudara-saudara terdekatnya termasuk di Indonesia. Banyak dalil yang sudah dijelaskan oleh pada ulama akan tuntutan kepedulian ini.
Diantaranya salah satu hadits dari Rasul ﷺ:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Orang-Orang mukmin dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuhnya ikut merasakan tidak bisa tidur dan panas (turut merasakan sakitnya).” (Shahih Muslim 4685).
Namun akibat framing miring tentang Rohingya membuat sebagian kaum Muslim di negeri ini mengisyaratkan terpancing untuk tidak empati kepada saudaranya. Beberapa komentar miring seperti bahwa Muslim Rohingya identik dengan perilaku kriminal serta digambarkan tidak tau adab karena membuang bantuan makanan ke laut, dst. Tidak disangkal bahwa ditengah ketidakpastian hidup, ada beberapa oknum dari Muslim Rohingya yang berlaku kejahatan, namun tentu tidak baik jika di generalisir semua melakukannya.
Solusinya adalah adili pelaku kejahatan dengan tindakan preventif maupun efek jera dengan penegakkan hukum serta perlu dilakukan sosialisasi yang berkesinambungan di tempat penampungan.
Tampak pula sebagian netizen trauma dengan apa yang terjadi di Palestina, dimana pengungsi Yahudi yang diberi tumpangan justru menikam dari belakang umat Muslim Palestina.
Hal ini tidak bisa disamakan karena, mereka bukanlah Zionis yang layak dimusuhi dan dicurigai, tapi saudaranya Muslim yang diibaratkan Rasul ﷺ seperti satu tubuh. Kalau kita tidak bisa seperti Kaum Anshar yang menerima kaum muhajirin maka minimal tidak mencibir.
Akar Permasalahan
Pertama; nasionalisme. Ikatan ini lahir dari akidah sekulerisme yang memisahkan agama dengan kehidupan. Output-nya menjadikan urusan warga Muslim negara lain bukan menjadi urusan negaranya.
Sebagaimana diketahui, semenjak kesepakatan Sykes-Picot, umat Islam terpecah-pecah menjadi negeri-negeri kecil yang melunturkan ikatan ukhuwah Islamiyyah.
Kedua; kekuasaan pemimpin Muslim lemah. Bukan dalam arti lemah secara personal namun secara sistemik.
Adalah contoh pada kepemimpinan Khalifah Mu’tashim Billah di masa Abbasiyah. Saat seorang Muslimah dilecehkan oleh orang kafir lalu wanita itu berteriak kepada Khalifah, tak berselang lama Mu’tashim mengirimkan tentara untuk membela kehormatan wanita Muslimah tersebut.
Dalam buku-buku sejarah disebutkan tentara Mu’tashim yang dikirim bahkan saat kepalanya sudah di kawasan Umuria sedangkan ekornya masih di Ibu Kota Baghdad saking banyaknya pasukan untuk membela kemuliaan seorang Muslimah itu.
Menyikapi persoalan Rohingya perlu ada kerjasama berbagai stakeholder guna merumuskan solusinya. Pertama: Pihak-pihak berkewenangan diberbagai negeri Muslim memiliki kewajiban untuk menolong saudaranya.
Apresiasi layak diberikan kepada Wapres Ma’ruf Amin yang membuka opsi Pulau Galang yang akan menjadi tempat labuhan pengungsi Rohingya meski mendapat bantahan dari Menteri Mahfud MD.
“Kalau pengungsi 1.400 lebih ya dan kita sebenarnya tidak terikat ya dengan konvensi itu, tapi karena kita punya prinsip kemanusiaan ya kita cari. Ya mudah-mudahan dalam waktu dekat,” (CNN, 6/12/2023).
Kedua: Mahfud MD juga menyampaikan bahwa pengungsi Rohingya akan dipulangkan ke Myanmar. Maka jika itu juga opsi harus perhatikan pula keselamatan dan keadilan bagi Muslim Rohingya sebagai warga negara Myanmar dengan cara negeri-negeri Muslim terutama ASEAN berperan aktif dalam pengawasan, diplomasi, maupun upaya lainnya untuk menjamin keamanan Muslim Rohingya.
Situasi yang dialami oleh saudara Muslim di Rohingya, Palestina, Uighur, dan di belahan bumi lainnya yang sedang terdzolimi semakin membuka mata hati kita akan kerusakan sistem dunia dunia ini melahirkan sikap apatisme dan pengabaian pada orang yang seharunya bisa kita bela dan kita lindungi, dan penyakit ini, kini menimpa negeri-negeri Muslim.
Ketiga, penting bagi kita sesama manusia belajar para kesusahan dan penderitaan pengungsi Rohingya. Jika kita diposisikan pada mereka, mungkin kita akan semakin luka dan menderita.
Apalagi jika di tengah kesusahan, ditolak sana-sini, lalu dikembalikan lagi ke laut, sampai mati satu-persatu. Bagi yang selamat ke darat, orang yang di darat justru mem-bully-nya, menyerang dengan kata-kata atau tindakan. Bagaimana rasanya?
Bagaimana jika kita atau keluarga kita yang mengalami nasib serupa lalu mereka diteriaki, dibully dengan narasi-narasi jahat agar mengusir kembali ke laut? Di mana kemanusiaan kita?
Kita berharap pemimpin-pemimpin kita menjadi lebih baik. Agar mereka bisa menjadi perisai yang melindungi umatnya.
«إِنَّمَا اْلإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدَلَ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ وَإِنْ يَأْمُرْ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ»
“Sesungguhnya imam adalah perisai orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung. Jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala dan jika ia memerintahkan yang selainnya maka ia harus bertanggung jawab atasnya.” (HR: Muslim).
Dalam syarah Imam Nawawi tentang hadits ini beliau menjelaskan:
أي : كالستر ;لأنه يمنع العدو من أذى المسلمين , ويمنع الناس بعضهم من بعض, ويحمي بيضة الإسلام , ويتقيه الناس ويخافون سطوته , ومعنى يقاتل من ورائه أي : يقاتل معه الكفار والبغاة والخوارج وسائر أهل الفساد والظلم مطلقا
“Makna imam sebagai perisai adalah seperti benteng, sebab imam melindungi umat Islam dari gangguan musuh, mencegah pertikaian di antara sesama Muslim, menjaga eksistensi Islam, serta imam ditaati dan ditakuti oleh masyarakat. Dan makna berperang dibelakangnya adalah berperang melawan orang-orang kafir, bughot, khawarij, pembuat kerusakan dan pelaku kedzaliman secara mutlak.” (Imam Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Hadits No. 4772). Wallahu A’lam.
(Hidayatullah)