Menjawab Dahlan Iskan

Dahlan Iskan, salah seorang yang menduga (atau sebatas mengkhawatirkan) potensi itu. Konstitusi memang mengharamkan. Tetapi konstitusi bukan kitab suci yang tidak boleh diubah. Konstitusi dibuat manusia. Kalau manusianya mau maka konstitusi bisa diubah. Kira-kira begitu kata Dahlan dalam tulisan berjudul Tiga Periode.

Kalau DPR bisa dikuasai maka perubahan konstitusi hanya menunggu waktu. Asalkan porsi bagi-baginya seimbang. Misalnya, kalau presiden tiga periode, DPR juga dijatah sama. Pun dengan gubernur, agar gejolak di daerah bisa diredam. Semua senang, semua happy.

Bagaimana dengan DPD? Prinsipnya sama. Anak tiri senayan ini bahkan bisa diberi porsi tambahan selain jatah tiga periode. Bonus tersebut adalah tawaran penguatan kewenangan lembaga DPD, agar derajatnya sedikit mengimbangi saudara tuanya di kamar sebelah. DPD ikut gembira, senatornya akan puas. Sesederhana itu.

Sesederhana itu? Tunggu dulu. Saya tentu tidak berhak menjawab tudingan yang dialamatkan kepada DPR dan para gubernur. Silakan tanya mereka. Namun, kekhawatiran Pak Dahlan terhadap DPD rasanya tak perlu diteruskan.

Tegasnya begini. DPD menolak wacana tiga periode, apapun alasannya, apapun iming-imingnya. Jejak digital penolakan ini mudah ditemui. Tinggal tanya mbah google, informasi pendukung dan pembanding akan disajikan.

Nah, sekarang soal konsistensi sikap. Anggota DPD memang bukan malaikat yang digaransi istiqomah. Tetapi sejauh ini aura kebatinan di DPD masih mengarah ke sana dan semoga akan terus ke sana.

DPD ingin negeri ini tetap memijak konstitusinya, bukan mengikuti keinginan sekelompok orang. Nalar konstitusi benar. Kekuasaan harus dibatasi dua periode, karena lebih dari itu akan berbahaya. “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” begitu diktum Lord Acton. Lagi pula, atas alasan apa kita  menyetujui tiga periode? Pembangunan yang telah dicapai? Yang mana ya?