Pendekatan pragmatisme politik yang bisa kita telaah terlihat diwakili oleh Andre Rosiade, Zeng Wei Jian, dan lainnya. Kelompok inilah yang menggunakan dalih “kemanusiaan” sebagai pintu rekonsiliasi.
Buat mereka ikut memikul tanggung jawab bersama pemerintahan Jokowi sebagai realitas politik membangun kembali persatuan bangsa.
Satu hal yang tidak disadari mereka yang menggunakan pendekatan pragmatisme politik ini adalah lahirnya realitas baru dengan kekuatan hebat untuk mendorong dan mengajak Prabowo tetap dalam jalur politik idealisme bahwa dalam demokrasi yang dinilai telah tergadai dan dirampok, disertai banyaknya korban jiwa untuk itu, maka platform demokrasi akan tercederai dengan hebat jika Prabowo memberikan legitimasinya dengan melakukan rekonsiliasi dan menghadiri pelantikan Jokowi-Ma’ruf.
Pendekatan idealisme politik ini lahir di tangan pendukung independen Prabowo di luar partai. Walau tentunya kuat juga relasi mereka dengan politisi di koalisi BPN.
Selain dari aspek perhitungan jebakan politik, argumentasi kelompok idealis ini juga tidak luput dari pemahaman mereka bahwasanya dengan menolak rekonsiliasi dan tidak hadir dalam pelantikan Jokowi-Maruf, Prabowo justru dinilai mampu meletakkan platform demokrasi jujur dan adil dalam koridor yang benar. Karena di situlah letak kemenangan kedaulatan rakyat.
Saya sendiri, tentunya tidak dalam kapasitas memahami kekuatan “inner circle” di sekitar Prabowo, sejauh mana peta kekuatannya? Apakah dihuni lebih besar oleh politisi dengan pendekatan pragmatisme politik, ataukah lebih besar oleh politisi idealis?
Saya sendiri berharap posisi politisi dengan pendekatan idealis masih kuat di sekitar Prabowo. Karena kalau tidak kuat, maka realitas politik Prabowo dan Gerindra akan berakhir antiklimaks dengan hilangnya 70 juta pejuang akal sehat yang sebenarnya berperan sangat signifikan melahirkan militansi luar biasa sebagai pendukung Prabowo. (ll/glr)
*) Penulis: A. Uwais Alatas, Aktifis Silabna (Silaturahmi Anak Bangsa)