Dengan demikian, kiranya tidak berlebihan jika dikatakan pristiwa penyelenggaraan Festival Budaya Melanesia di NTT tersebut merupakan kegiatan ahistoris, alih-alih untuk mengatakan sebagai bentuk kecelakaan sejarah tahap kedua dalam memandang dan membangun Papua.
Redefinisi konseptual tentang Papua sebagai rumpun Melanesia, yang memiliki ciri: berkulit hitam, berambut keriting, berumpun bahasa non-Austronesia (Rumpun Melanesia) dan wilayahnya mencakupi kawasan timur Indonesia dari Papua sampai NTT merpakan upaya membangun cara pandang masyarakat Papua dalam rangka redefinisi diri sebagai komunitas tersendiri yang berbeda dengan komunitas lainnya di Indonesia baik secara fisik maupun secara kultural, dan geografis.
Dilihat dalam konteks keindonesiaan, upaya ini sangat berhasil, terutama di kalangan menengah ke atas. Pernah ditahun 2014, pada acara puncak peringatan Hardiknas yang dilaksanakan di Sorong, penulis berbincang sepintas tentang bahasa-bahasa di Papua dengan Pak Rektor Universitas Papua Barat. Beliau menyebutkan bahwa bahasa-bahasa di Papua merupakan rumpun non-Austronesia.
Pada Acara Mata Najwa, yang berlangsung 21 Agustus 2019, kembali aktivis Papua: Filep Karma menyatakan keberbedaan antara Papua yang Melanesia dengan sebagian besar masyarakat Indonesia lainnya yang Melayu. Melayu yang dimaksudkan di situ adalah Melayu Polinesia yang dalam terminologi linguistik diakronis dimaksud sebagai istilah yang merujuk pada Austronesia, sebagaimana digunakan Wilhelm von Humboltdt (1836-839) dan Brandstetter (1906).
Artinya, dikotomi Melanesia dan Melayu yang digunakan aktivis Papua tersebut identik dengan dikotomi Melanesia versus Austronesia, atau Non-Austronesia versus Austronesia.
Begitu masifnya gelombang demonstrasi Massa di berbagai titik di tanah Papua yang menjadi reaksi atas perlakuan rasis terhadap mahasiswa Papua di Surabaya beberapa hari lalu menggambarkan bahwa sesungguh komunitas Papua telah berhasil meredefinisi diri sebasgai komunitas Melanesia yang di samping memiliki ciri-ciri yang disebutkan di atas. Dalam konteks ini, menjadi dapat dipahami salah satu pernyataan Gubernur Papua: Lukas Enembe, bahwa pembangunan Papua mestinya berpusat pada ” Mengindonesiakan orang Papua”.
Pembangunan yang melulu bersifat fisik tidak akan berhasil mengikis cara pandang mereka yang non-Austronesia itu, yang setiap saat akan menjadi bom waktu yang akan selalu siap dijadikan ikon perlawanan untuk meminta pemisahan diri.
Pembangunan yang melulu fisik tak akan mampu membuat masyarakat Papua, menjadi bagian yang integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengalaman pahit sudah pernah dialami, ketika Timor Timur menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia. Indonesia berhasil membangun secara fisik walaupun belum maksimal, membangun SDM dengan mengirimkan generasi muda Timor Timur ke kemapus-kampus ternama di Indonesia untuk menempuh pendidikan, namun karena gagal membangun ikatan emosional mereka pada Indonesiua, maka dengan mudah mereka beralih pandangan pada referendum yang dilakukan pada masa Presiden Habibie. Dalam konteks itu pula menjadi dapat dipahami bahwa membangun Papua di samnping membangun fisik juga yang jauh lkebih penting adalah mengindonesiakan orang Papua. Pekerjaan ini menjadi sangat berat di tengah kondisi redefinisi diri orang Papua sebagai orang berunmpun Melanesia yang non-Austronesia sedang dan akan terus berlangsung dengan mentransmisikannya dari satu generasi ke generasi Papua berikutnya.
Diperlukan pendekatan kultural, salah satunya pendekatan kebahadsaan untuk mengubah cara pandanag (mindset) mereka. Hal itu harus dilakukan secara simultan, terencana, terarah, dan terukur dengan pembangunan bidang lainnya.
Namun, apakah sudah tersedia bukti-bukti yang bersifat saintifik untuk melawan pola pikir kultural yang Melanesia non-Austronesia tersebut.
Pembahasan hal ini akan disajikan dalam topik khusus dengan judul: “Papua: Melanesia atau Austronesia?” yang merupakan bagian yang integral dengan artikel ketiga “Papua yang Austronesia: Memulai Pembangunan dari Tanah Leluhur Bangsa Indonesia”.(kl/glr)
*) Penulis: Prof. Mahsun, Guru Besar Linguistik Universitas Mataram, Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa 2012-2015