Apabila pada halam kulit panduan konferensinya bertuliskan tema keberagaman budaya Papua dalam mozaik kebudayaan Indonesia, maka di bagian isi panduan bertuliskan konsep keberagaman budaya Papua dalam konteks kebudayaan Melanesia.
Penulis sendiri diminta membawa makalah dengan topik: “Diaspora of Melanesians (Languages) in Indonesia: Specifically in NTT, Maluccas, and Papua”. Ada dua hal penting yang patut dicatat dari sejumlah rekomendasi yang dihasilkan dari konferensi itu yang erat kaitannya dengan upaya redefinisi diri dan menjadi ikon perjuangan masyarakat Papua ke depan yaitu:
(a) Bahasa-bahasa di Papua merupakan rumpun tersendiri yang berbeda dengan bahasa-bahasa lokal yang ada di Indonesia lainnya. Bahasa di Papua dikatakan sebagai rumpun non-Austronesia yang disebut sebagai rumpun Melanesia, sementara itu bahasa-bahasa lokal lainnya di Indonesia masuk ke dalam rumpun Austronesia;
(b) berdasarkan makalah yang disajikan oleh Don Flassy dan Marlina Flassy yang berjudul: “Keragaman Budaya Papua dalam Konteks Tradisi dan Budaya Melanesia, Menuju Melanesianologi dan Papuanistik”, dinyatakan bahwa yang termasuk wilayah Melanesia itu mulai dari NTT, Maluku, sampai Papua. Yang menarik adalah pelabelan identitas kultural Papua sebagai rumpun Melanesia.
Istilah Melanesia sendiri berasal dari bahasa Yunani μέλας melan (= hitam), νῆσος nesos (= pulau), jadi pulau yang didiami oleh orang kulit hitam.
Melanesia dalam konsep mereka adalah sebuah masyarakat yang dari segi bahasa dan budaya tidak termasuk rumpun Austronesia, berbeda dengan bahasa dan budaya etnis lainnya yang terdapat di Indonesia. Perbedaan inilah yang dijadikan ikon perjuangan dan sekaligus pembeda yang dapat menjadi pembenaran bagi upaya pemisahan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesai.
Oleh karena berbeda identitas kebahasaan, maka wajar jika mereka memisahkan diri dari Negara Kesatruan Republik Indonesia. Hal itu dibuktikan dengan terjadinya demonstrasi yang mengangkat isu negara bangsa Melanesia Raya.
Peristiwa ini terjadi sebulan setelah berlangsungnya konferensi internasional tersebut, tepatnya pada tanggal 14 Desember 2010 di Manokwari (Papua Barat), dan tempat ini belum lama ini menjadi titik awal gelombang demonstrasi massa akibat kasus rasial di Surabaya.
Bahkan konsep Melanesia sebagai konsep kultural yang salah satunya bercirikan rumpun bahasa non-Austronesia diperkuat secara keilmubahasaan oleh Schapper (2015) dalam artikelnya: “Wallace, a Linguistic Area”, yang dimuat dalam jurnal: Archipel No. 90: 99-151, dengan konsep “Linguistik Melanesia”, yang mencakup bahasa-bahasa yang dituturkan di Papua, Papua New Guinea.
Ihwal apa yang diuraikan di atas, merupakan upaya awal mengimplementasikan rekomendasi (a) di atas sedangkan impelementasi rekomendasi (b) dilakukan melalui kegiatan yang berada dalam naungan Melanesian Spearhead Group (MSG) yang beranggotakan empat negara di Melanesia: Fiji, Papua Nugini, Solomon, dan Vanuatu. Salah satu kegiatan yang berhasil dilaksanakan adalah Festival Kebudayaan Melanesia (Melanesian Cultural Festival) yang betrlangsung di Kupang, NTT dari tanggal 26-30 Oktober 2015. Apa yang menarik dari kegiatan ini adalah tempat dilaksanakannya kegiatan tersebut, tentu dengan tidak mengabaikan substansi kegiatannya.
Yang menarik, adalah dipilihnya NTT sebagai tuan rumah penyelenggara kegiatan yang melibatkan provinsi NTT, Maluku, Papua, dan Papua Barat sangat bersesuaian dengan ancangan wilayah Melanesia yang dipaparkan dalam makalah Don Flassy dan Marlina Flassy yang menjelaskan bahwa wilayah Melanesia mencakupi seluruh provinsi di kawasan timur Indonesia tersebut.
Untuk memberi dukungan ilmiah bagi kesatuasalan secara histori keempat penduduk asli di wilayah itu, panita Festival untuk sesi seminar disiapkan satu subtema, yaitu subtema bahasa: Spreads of Melanesian Language Family. Betapa sistematis, terencana, terukurnya kegiatan itu, cakupan wilayah yang terpisah itu dibalut dengan adanya paparan yang menggambarkan bahwa bahasa-bahasa di kawasan itu merupakan bahasa yang diturunkan dari satu keluarga bahasa.
Mengingat bahwa kegiatan ini didukung oleh pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Pendidikandan Kebidayaan melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan dan Kementerian Luar Negeri, maka dapat dikatakan bahwa kegiatan ini merupakan kelanjutan dari kegiatan Konferensi yang diselenggarakan 2010 tersebut.