Nama Papua digunakan pertama kali Gubernur Portugis di Maluku Jorge de Menses pada tahun 1528 pada saat mengunjungi Waigeo di Raja Ampat.
Kata itu, di samping digunakan untuk merujuk orang yang menguhuni pulau bercirikan: berkulit hitam dan berambut keriting juga digunakan untuk merujuk pada nama pulau itu sendiri. Istilah Ilhas dos Papua dalam bahasa Portugis berarti Pulau Papua. Nama lain dari Papua adalah Nova/Nueva Guinea atau New Guinea yang berarti Guinea Baru.
Nama ini diberikan oleh Inigo Ortiz de Retes yang mampir di Mamberamo dalam perjalanan laut dari Tidore menuju Meksiko tanggal 20 Juni 1545. Nama itu merujuk pada pantai Guinea di Afrika yang serupa dengannya.
Persoalannya, mengapa Bung Karno memberi nama wilayah yang baru masuk ke dalam pangkuan Ibu Pertiwi itu dengan nama Irian dan mengapa pula warga Irian mengusulkan pada Gus Dur untuk mengembalikan nama Irian itu pada nama asalnya, yaitu Papua? Apa yang dilakukan Bung Karno, mengganti nama Papua dengan Irian tidak lain adalah upaya menyatukan orang-orang Papua dengan saudara-saudaranya yang lain yang sudah terlebih dahulu berada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak hanya secara fisik tetapi juga secara emosional.
Ada dua pesan utama yang dikirim Bung Karno melalui penggantian nama Papua menjadi Irian Barat. Pertama, pesan moral, Bung Karno ingin agar integrasi masyarakat Irian ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah integrasi yang benar-benar utuh secara fisik dan emosional, dan terlepas dari ikatan emosional negara bangsa dengan masyarakat negara bangsa yang mendiami bagian timur pulau Papua (Papua New Guinea).
Kedua, pesan perjuangan, yaitu pengukuhan akan keberadaannya sebagai bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang anti pada kolonialisme Belanda. Hal itu sangat jelas dari makna Irian itu sendiri yang merupakan singkatan dari “Ikut Republik Indonesia Anti Nederland”.
Lalu bagaimana dengan pengembalian nama itu dari nama yang diberikan Bung Karno: Irian Barat ke nama asalnya: Papua? Dalam konteks ini telah terjadi peristiwa ahistoris, alih-alih untuk mengatakan kecelakaan sejarah tahap awal, yang terjadi pada masa presiden Republik Indonesia kelima dalam memandang dan menyiasati pembangunan di Papua.
Dikatakan demikian, karena pengembalian ke nama semula tidak lalu menyelesaikan masalah, karena melalui nama Papua itu mereka justeru mendapat penguatan dalam meredefinisikan diri sehingga dapat membedakan diri mereka dengan bagian terbesar warga negara Indonesia lainnya dan sekaligus menjadi ikon perjuangan.
Maunya dengan menuruti permintaan itu, proses integrasi bangsa tidak lagi memunculkan masalah di kemudian hari, namun sebaliknya penggantian nama Irian Barat menjadi Papua menjadi awal perjalanan masyarakat Papua memantapkan identitas diri sebagai komunitas yang berbeda dengan komunitas Indonesia lainnya.
Setelah nama Papua dikukuhkan mengganti nama Irian barat, upaya pembedaan dalam rangka redefinisi diri tidak berhenti sampai di situ. Apabila dengan nama itu, identitas mereka yang ditandai secara fisik (rasial): berkulit hitam dan berambut keriting mendapat pengakuan, maka pengakuan pembeda lainnya mereka terus upayakan, salah satunya melalui pembedaan secara kultural, dalam hal ini melalui budaya dan bahasa.
Upaya awal untuk mempertegas identias yang berbeda secara kultural ini dilakukan melalui media Konferensi Internasional dengan tema induk: “Keberagaman Budaya Papua dalam Mozaik Kebudayaan Indonesia (International Conference on Papuan Cultural Diversity in Mozaik Indonesian Cultures)” yang berlangsung di Jayapura dari 8-11 November 2010.
Ada yang menarik dari tema konferensi yang dihadiri oleh pakar budaya, sejarah, bahasa dan arkeologi, serta seni dari berbagai negara tersebut, yaitu munculnya subtema konferensi yang bertentangan dengan tema induknya, yaitu subtema satu: “Papuan Cultural Diversity in its Melanesian Cultural Context: Intangible Cultural Heritage, Living-Cullture, Social Practices, Rituals, Languages, and Performing Arts”.