Menggugat dan Menuntut Jokowi Mundur, Sebuah Terobosan Hukum Membela Kepentingan Rakyat

Eramuslim.com

By Prof Dr H Eggi Sudjana Mastal, SH MSi

Ada sejumlah pihak yang mempertanyakan, bagaimana mungkin menggugat Presiden secara hukum dan menuntutnya untuk mundur melalui lapangan hukum perdata di Pengadilan Negeri.

Padahal, secara tata Negara, proses pengunduran diri dan pemberhentian Presiden (pemakzulan) hanya dapat ditempuh melalui Proses Politik di DPR RI, membawanya secara hukum ke Mahkamah Konstitusi, dan kembalikan ke MPR Ri melalui sidang istimewa.

Di MPR RI, sifatnya tinggal seremonial untuk mengukuhkan pemberhentian Presiden yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi, menetapkan Wakil Presiden sebagai Presiden definitif dan memilih sekaligus memilih dan menetapkan Wakil Presiden pengganti.

Sejumlah anggota DPR RI kelak nantinya yang akan memilih dan mengusulkan penetapan Wakil Presiden pengganti dalam Sidang Istimewa MPR RI.

Hanya saja, semua itu terjadi jika Lembaga DPR RI berfungsi. Masalahnya, lembaga DPR RI mengalami disfungsi baik dalam fungsi legislasi, budgeting dan khususnya kontrol terhadap eksekutif.

Sejumlah kebohongan, janji-janji palsu, dan disfungsi peran Presiden untuk merealisasikan tujuan pemerintahan adalah pelanggaran hukum, terkategori perbuatan yang melawan hukum.

Karena dusta dan janji-janji palsu Presiden Joko Widodo seperti ada dana 11.000 di kantong, tidak akan utang buktinya utang menggunung yang per Desember 2020 telah melampaui angka Rp. 6000 triliun, janji tidak akan import, buy back Indosat, dan sederajat kebohongan dan janji palsu Presiden Joko Widodo telah merugikan segenap rakyat Indonesia.

Secara perdata, hal ini memenuhi unsur pembuatan melawan hukum dalam pasal 1365 Kuhperdata, yang menyatakan :

“Setiap perbuatan yang melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang lain menyebabkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian mengganti kerugian tersebut.”