by M Rizal Fadillah
Silaturahmi Kebangsaan yang diagendakan Faisal Assegaf, Refly Harun, Marwan Batubara dan lain-lainnya bergerak dinamis. Upaya menghalang-halangi bahkan membatalkan luar biasa seriusnya. Sulit menepis bahwa upaya itu adalah ulah dari rezim Jokowi di penghujung masa jabatannya. Diciptakan suasana ketidakpastian melalui gangguan-gangguan.
Diawali dengan pembatalan sepihak penggunaan Balai Sudirman di Tebet sebagai tempat acara lalu Hotel Bidakara sebagai pengganti yang awalnya sudah tidak ada masalah, mendadak batal pula. Terkesan ada pihak-pihak yang “menekan” pengelola setempat. Hal ini juga pernah terjadi pada saat FTA akan menggelar acara Silaturahmi di Hotel Grand Kemang Tebet yang berakhir dengan penyerbuan kaum gerombolan.
Panitia memindahkan acara ke Hotel Green Alia di Cikini. Demi menyelamatkan kehadiran para tokoh atas undangan yang sudah disebar sedemikian rupa. Untunglah manajemen Hotel Green Alia terbuka untuk digunakan Konperensi Pers dan Silaturahmi. Apresiasi patut disampaikan kepada pihak Hotel yang mampu mengatasi “tekanan” sehingga dua acara Silaturahmi dan Konperensi Pers berjalan lancar bahkan meriah. Acara sukses dan dapat berjalan sesuai harapan. Peserta membludak.
Upaya penggagalan oleh tangan rezim Jokowi ternyata gagal. Indikasi kepentingan Jokowi sangat kuat terbukti dengan adanya ancaman dan intimidasi dari “Pasukan Berani Mati Pembela Jokowi” saat menggagalkan rencana acara di Hotel Bidakara Tebet. Kasus Grand Kemang, Balai Sudirman, dan Hotel Bidakara berada di wilayah hukum Polres Jakarta Selatan. Sedangkan Green Hotel Alia di wilayah hukum Jakarta Pusat.
Serangan Brutal oleh gerombolan “yang bersahabat” dengan Kepolisian di acara Diaspora FTA Hotel Grand Kemang patut diduga berkaitan dengan kiprah Polres Jakarta Selatan. Polda Metro Jaya patut memberi sanksi tegas kepada Kapolres Jakarta Selatan. Ini berkaitan pula dengan penggagalan acara, Balai Sudirman dan Hotel Bidakara.
Sukses, aman dan terkendali acara di Hotel Green Alia akibat kerjasama yang baik dari semua pihak. Para tokoh menyampaikan pandangan silaturahim dengan obyektif. Prihatinan atas kondisi yang berbasis fakta. Tidak ada kebencian selain tututan sanksi pertanggungjawaban atas perilaku politik yang telah menyakiti rakyat.
Jokowi itu sumber masalah karenanya harus ditangkap, diadili dan dihukum. Para tokoh yang hadir sepakat dengan tuntutan tersebut. Ada Prof Amien Rais, Komjen Pol Purn Oegroseno, Mayjen TNI Soenarko, Dr Refly Harun, Eddy Mulyadi, Dr Marwan Batubara, HM Mursalin, KRMT Roy Suryo, M Rizal Fadillah, Brigjen Purnomo, Rahma Sarita, Syafril Sofyan, Kol Purn Sugeng Waras, Srikandi Papua, Bunda Merry di samping tentu penggagas Faisal Assegaf dan tokoh-tokoh lainnya.
Bagai “pesta rakyat” silaturahmi menampilkan warna semangat perlawanan atas kezaliman rezim Jokowi. Rakyat yang muak pada sikap-sikap otoriter. Memberi peringatan agar pemerintahan Prabowo tidak melakukan kesalahan yang sama dan memberi ruang atas proses penangkapan, peradilan serta penghukuman Jokowi dan dinasti.
Rombongan Bandung hadir berkaos hitam bertuliskan “Adili Jokowi” dengan asesori “Tali Gantung”. Roy Suryo memperagakan
simbolisasi “Petruk Digantung”.
Petruk rakyat jelata yang mencuri mantera hingga jadi Ratu yang berkuasa dengan semena-mena. Dari rakyat, memperalat rakyat dan menindas rakyat. Petruk-krasi namanya. Sang Kanthong Bolong ini telah merampok dan memboroskan uang negara. Ketika kembali dihukum menjadi rakyat, maka pelajaran terpenting bagi perilaku model demikian adalah “jerat leher” tokoh berhidung panjang itu.
Lakone opo Ki Suryo ? Menggantung Petruk dadi Ratu !
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 15 Oktober 2024