Mengenal Pola Para Pemuja Jokowi yang Auto Logika

Saya perhatikan, dinamika psikologis inilah yang berkerja dalam otak kelompok pemuja petahana tersebut.

Semakin ditunjukkan bahwa petahana memiliki kekurangan- kekurangan dan tidak logis kalau beliau dapat memperbaiki Indonesia, semakin mereka bersemangat mendukung petahana.

Beberapa diantara mereka mendebat dengan nasehat adiluhung orang Jawa, wong pinter ora mesthi bener, wong bener ora mesthi pinter”.

Mereka mau mengatakan, “ya, petahana memang bodoh, tapi dia orang yang benar”.

Padahal nasehat Jawa itu maksudnya, “Wong (sing ketok) pinter ora mesthi bener, wong sing bener (ora kudu ketok) pinter”, karena tidak mungkin orang dapat mencapai kebenaran tanpa ilmu, dan orang yang pintar adalah orang yang berilmu.*

Para pendukung jenis ini, akan semakin khusyuk membela petahana justru ketika ada bukti kekurangan petahana.

Bagi mereka, dunia ini berjalan tak logis dan semuanya bertentangan.

Dengan kondisi hutang melambung tinggi, BUMN merugi, nilai tukar rupiah yang cenderung melemah, harga-harga naik, dan kepercayaan terhadap pemerintah menurun, masih ada pemuja-pemuja yang percaya bahwa petahana mampu membalikkan keadaan.

Padahal kualitas pribadi beliau secara intelektual lemah, literasinya kurang, gagap dan gugup jika tampil tanpa teks, pergaulan dunianya kurang berwibawa, dan boneka partai. *Namun justru kualitas-kualitas itulah yang membuat mereka semakin berharap keajaiban, “bisa saja orang ini yang justru yang menyelamatkan Indonesia”.

Itulah sebabnya Ruhut mengatakan, “Joko wi adalah rahmat Tuhan untuk Indonesia”.

Perilaku seperti ini bukan barang baru di Indonesia. *Ingatlah Ponari, dukun cilik yang dikabarkan mampu menyembuhkan segala macam penyakit dengan sebuah batu.

Masuk akal?Tidak!

Tapi justru itulah yang mendorong orang-orang datang untuk merasakan keajaiban.

Kalau Ponari itu seorang dokter spesialis dengan gelar akademik doktor (S3), pasti yang datang tidak sebanyak itu. Kenapa?

Kalau dokter bisa menyembuhkan penyakit, itu bukan keajaiban. Itu logis! Biasa!

Saya sering tersenyum, namun berterima kasih atas perhatian kawan dan murid-murid saya yang menasehati, “Pak, jangan sering ngatain orang dungu. Tidak baik”.

Namun, bagi saya, tidak ada kata yang pas untuk perilaku seperti ini selain “dungu”, karena mereka menolak ajakan berpikir logis, dan malah memaksa akalnya berpikir terbalik.

Mengapa bisa begitu? Jiwa mereka mabuk keajaiban.

Orang yang mabuk, selalu ingin merasakan sesuatu yang memabukkan itu. Kalau sesuatu yang memabukkan itu berupa khamr, maka khamr lah yang diinginkan.

Dalam kasus ini, sesuatu yang memabukkan itu adalah “keajaiban”, maka keajaiban akan menjadi klangenan buat mereka.