Tidak semua anggota DPR RI 2014–2019 dipilih lagi oleh rakyat dalam Pemilu 2019. Oleh karena itu, dari segi etika politik, mereka yang tidak lagi dipilih oleh rakyat, tidak memiliki legitimasi untuk memutus UU yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Kalau RUU tersebut telah “mangkrak” selama belasan tahun, seharusnya tidak menjadi masalah apabila pengesahannya ditunda satu bulan, dan disahkan oleh DPR RI hasil Pemilu 2019.
Tentu menjadi pertanyaan, mengapa beberapa RUU penyampaiannya dilakukan secara terburu-buru, pembahasannya dilakukan secara tertutup kemudian pengesahannya dipaksakan sebelum masa jabatan DPR RI 2014-2019 yang hanya tinggal beberapa hari lagi akan berakhir.
RKUHP, RUU Pertanahan dan RUU Perkoperasian akan disahkan pada akhir bulan September, beberapa hari sebelum masa jabatan DPR 2014-2019 berakhir.
Apabila RKUHP, RUU Pertanahan dan RUU Perkoperasian dipaksakan untuk disahkan, dipastikan akan muncul protes dan tentangan dari masyarakat, seperti penolakan terhadap UU KPK yang baru disahkan.
Juga UU KPK yang baru disahkan harus dibatalkan.
Sebaiknya semua RUU tersebut tidak disahkan oleh DPR RI 2014–2019 dan diserahkan sebagai tugas pertama untuk DPR RI 2019–2024 sebagai prioritas pertama.
Pembahasannya harus transparan, tidak lagi secara diam-diam. Juga harus melibat unsur-unsur masyarakat.
Terutama dalam pembahasan RUU Pertanahan, harus melibatkan para pemangku kepentingan yaitu tokoh-tokoh masyarakat adat.
Batara R. Hutagalung
Penulis adalah sejarawan.(rmol)