Mengapa Tidak Tunggu Satu Bulan?

Hingga saat ini ratusan anggota DPR RI, DPRD, MPR, kepala daerah, pejabat negara, ketua partai politik, bahkan menteri yang ditangkap dan dipenjara karena terbukti telah melakukan korupsi, yang telah dinyatakan sebagai kejahatan luar biasa (Extraordinary crime).

Para penegak hukum juga banyak yang terjerat kasus korupsi. Puncaknya adalah dengan ditangkapnya Ketua MK Akil Mochtar atas kasus menerima suap untuk memenangkan satu pihak dalam Pilkada. Dia divonis penjara seumur hidup.

RUU KUHP/RKUHP disampaikan oleh pemerintah pada 26 Agustus 2019. Konon pembahasannya dilakukan secara tertutup oleh DPR dan pemerintah di satu hotel, bukan di gedung DPR RI.

Menkumham beralasan KUHP adalah peninggalan dari masa kolonialisme, yang sejak disahkan sebagai KUHP tahun 1946, 73 tahun lalu, belum ada perubahan. Kelihatannya Menkumham kurang membaca dan “buta sejarah.” KUHP yang diberlakukan untuk seluruh wilayah RI bukan 73 tahun, melainkan 61 tahun.

Di zaman penjajahan, KUHP bernama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie. Pengesahannya dilakukan melalui Staatsblad Tahun 1915 Nomor 732 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918.

Dalam sidang BPUPK bulan Juni 1945 dinyatakan, sebelum UU untuk Republik Indonesia yang akan didirikan, maka masih berlaku UU dari zaman pemerintahan Nederlands Indie (India Belanda).

Setelah kemerdekaan yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, KUHP tetap diberlakukan dengan penyelarasan yaitu pencabutan pasal-pasal yang tidak sesuai dengan kondisi bangsa dan negara Indonesia. Hal ini kemudian dicantumkan pada Ketentuan Peralihan Pasal II UUD 1945 Asli dimana disebutkan: “Segala badan negara dan peraturan yang masih ada langsung diberlakukan selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini (UUD ’45).”

Pada tanggal 26 Februari 1946, pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, yang kemudian dikenal dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pada waktu itu dinyatakan bahwa: “Undang-undang tersebut baru berlaku untuk Jawa dan Madura.

Selama masa agresi militer Belanda tahun 1946-1949, di wilayah yang diduduki oleh Belanda, masih diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie secara murni seperti di zaman pemerintah Nederlands Indie.

Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana secara resmi di seluruh wilayah Republik Indonesia baru dilakukan pada 20 September 1958, dengan diundangkannya UU Nomor 73 Tahun 1958.

Tahun 1960 untuk pertama kali dilakukan perubahan KUHP. Setelah itu, ada pasal dalam KUHP yang dicabut oleh MK. Salah satu pasal yang dimasukkan lagi dalam RKUHP adalah pasal penghinaan Presiden/Wakil Presiden.

Penghina presiden/wakil presiden diancan hukuman penjara 4,5 tahun. Pasal ini yang masih tercantum dalam KUHP warisan Belanda, sudah dicabut oleh MK tahun 2006. Pasal tersebut dibuat di masa penjajahan, untuk melindungi Ratu Belanda.

Di zaman penjajahan, pasal penghinaan terhadap raja/ratu dinamakan Majesteitsschennis.

Apakah akan kembali ke masa penjajahan?

RUU Pertanahan telah “mangkrak” selama 7 tahun. RUU ini kurang berpihak kepada masyarakat adat pemilik tanah adat. Sebagian besar masyarakat adat telah bermukim di berbagai wilayah di Nusantara sebelum kedatangan penjajah dari Eropa. Pribumilah pewaris dan pemilik negeri ini.

Harus ditinjau kembali perjanjian kerajaan dan kesultanan di Nusantara dengan pemerintah RI. Banyak raja dan sultan dengan sukarela mendukung dan bergabung dengan Republik Indonesia. Walaupun masih ada yang berpihak ke Belanda.

RUU Perkoperasian telah “mangkrak” selama 12 tahun. Dalam penjelasan UUD 45 Asli sehubungan dengan Pasal 33 disebut, bahwa Badan Usaha yang sesuai dengan Pasal 33 adalah Koperasi.

Koperasi adalah suatu bentuk usaha rakyat kecil untuk melawan dominasi pemodal besar. Di beberapa negara di Eropa, a.l. di Jerman, badan-badan usaha berbasis koperasi termasuk kategori perusahaan-p1erusahaan raksasa.

Pada hari Kamis, 19 September 2019, mahasiswa melakukan unjuk rasa, selain menentang revisi UU KPK, juga menolak RKUHP yang akan disahkan secara terburu-buru.

Sehari kemudian, tanggal 20 September Jokowi bereaksi atas demo mahasiwa dan meminta DPR RI agar menunda pengesahan RKUHP karena ada sekitar 14 pasal yang perlu dikaji lagi.

Permintaan ini tentu sangat aneh, karena pemerintah yang mengajukan Rancangan KUHP, juga terburu-buru  pada 26 Agustus 2019.

Apakah sebelumnya Preaiden tidak membaca RKUHP yang disusun oleh pemerintah?

Ini adalah bukti bahwa pembahasan RKUHP tidak cermat dan pengajuannya dilakukan secara terburu-buru.

Pada 20 September 2019 Ketua DPR RI Bambang Soesatyo mengatakan, puhak asing menekan agar LGBT dilegalkan. Namun ditolak.

Pernyataan Ketua DPR RI ini merupakan suatu pengakuan, bahwa kelompok kepentingan, termasuk pihak asing, ikut memengaruhi dan “bermain” dalam menyusun UU. Bukan hanya dalam menyusun UU, melainkan juga dalam menyusun UUD 2002 yang disahkan pada 10 Agustus 2002.