Firman Utina cs boleh jadi sedih, kerja kerasnya untuk membawa Indonesia memenangi pertandingan melawan Bahrain hanya berbuah kekalahan. Tidak hanya itu kekalahan Indonesia bertambah parah, setelah FIFA berencana memberikan sanksi terhadap PSSI. Pasalnya hanya sebuah mercon. Kembang Api yang dilesakkan para suporter semat membuat jalannya pertandingan terhenti. Wasit berpendapat ledakan petasan mampu mengganggu konsentrasi pemain.
PSSI pun panik. Penonton panik sampai SBY pun juga panik. Mereka khawatir ancaman FIFA berbuah kenyataan. Para penonton juga sempat melakukan aksi lempar botol ke bench pemain. Oleh karena itu, SBY yang juga ikut menonton pertandingan itu ditengah warga negaranya yang tidak tahu lagi mau makan pakai apa, langsung menegur kapolri. "Presiden bertanya kepada Kapolri bagaimana hal itu bisa terjadi," kata Juru Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha. “Situasi seperti itu tidak lazim dalam sebuah pertandingan apalagi kualifikasi Piala Dunia," tambahnya.
Polisi pun bergerak cepat. Mereka berhasil meringkus empat orang yang merupakan pelaku pelempar petasan. Tidak hanya itu, sambil membawa empat tersangka, polisi pun mencari tahu siapa yang penjual petasan kepada supporter, ya ditengah polisi yang emoh mencari tahu dimanakah keberadaaan para penjual harga diri bangsa, perampok uang rakyat, calo anggaran, makelar umat, dan perkara besar lainnya yang tidak putus-putus.
Terfikirkah oleh SBY bahwa 100.000 penonton Indonesia saat itupula telah menjadi kafir dengan meninggalkan shalat. Dari ashar, maghrib, Isya, bisa jadi dari dzuhur. Sebagai penonton sepakbola saat remaja, saya tahu betul jika Gelora Bung Karno tidak menyediakan fasilitas air yang memadai. Tidak jarang para penonton buang air kecil tanpa bersuci. Shalat pun susah. Mengapa? Karena dalam statuta FIFA, tidak ada syarat bahwa sebuah stadion internasional harus memiliki tempat ibadah.. Menariknya pembawa acara televisi dan petinggi PSSI meminta segenap warga Negara berdoa kepada Allah demi kemenangan Indonesia. Kurang ajar betul!
Masih ingat event Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan? Ketika seorang penonton dari Slovenia keluar dari tribun meski pertandingan belum juga usai. Rupanya, ia pergi bukan perkara Slovenia kalah. Sebagai muslim, ia mencari musholla atau setidaknya tempat yang layak untuk shalat, mengingat dalam pantauannya waktu sudah bergerak ke waktu ashar. Melihat orang ini yang tampak kebingungan, penjaga stadion juga ikut bingung. Mereka bergumam dalam hati, “mana ada tempat shalat dalam sebuah stadion?” Ironisnya pendukung Slovenia itu shalat tidak jauh dari toilet.
Lantas pernahkah SBY dan Kapolri memikirkan ini. Mereka meringkus para penonton yang tidak shalat dan memberhentikan pertandingan karena kumandang azan. Rasanya mustahil, karena para ustadz juga menggelar nonton bersama dan menunda waktu Isya. Sedangkan Kyai yang kuat menyuarakan penegakkan Syariat Islam seperti Abu Bakar Ba’asyir justru dijebloskan ke penjara.
Ada-ada saja memang Negara ini. Pertandingan olahraga yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kemajuan bangsa, lebih-lebih umat dibicarakan layaknya sebuah fenomena kiamat. Televisi mengundang berbagai macam pembicara. Profesor ikut campur, Anggota DPR tidak mau kalah, kampus, sekolah, peramal, bahkan da’i ikutan berbicara.
Di Barat sendiri agama adalah benalu. Sepakbola adalah alat pemotongnya. Akhirnya, kita bisa saja melihat pertandingan sepakbola lebih ramai dari Gereja. “Manchester United is My religion and Old Trafford is my church,” kata fans MU. Di Indonesia lebih sadis lagi, “Walau harus mati di tengah lapang, Jak Mania selalu berkorban.” Jadi wajar saja stadion lebih semarak dari masjid. Mesjid dibikin ramai, namun ada asalnya. Asal dibarengi dengan majelis untuk mencari kekuasaan.
Kini yang ikhwan dan akhwat ikut larut dalam sepakbola. Di FB mereka mengajak teman-teman sepengajiannya untuk ikut mendukung Timnas. Ketika ditanya apa dalilnya, mereka enteng menjawab, “Sudah perintah atasan, akh, ukh…”
Tapi sepakbola memang perekat nasionalisme. Ideologi kufur yang menyatakan ikatan terkuat antara umat manusia adalah kebangsaan. Piala Dunia sendiri kali pertama terselenggara, justru pasca enam tahun runtuhnya Khilafah Islamiyah. Tahun 1930 adalah tonggak pertama FIFA melaksanakan Piala Dunia. Kala itu Uruguay menjadi tuan rumah sekaligus juaranya.
Di Indonesia, Nasionalisme sendiri menjadi mazhab dan keyakinan untuk dipertahankan di atas Islam. Zuhairi Misrawi, pada acara provocative proaktif, jum’at lalu, menyebut bahwa ikatan kebangsaan adalah ikatan terkuat ketimbang ikatan agama (baca: tauhid). Bahkan kemarin, Setara Institute, merilis survey mengenai respon masyarakat terhadap Ahmadiyah. Hasilnya menurut mereka masyarakat Indonesia menganggap penganut Ahmadiyah tetap sebagai saudara sebangsa meski bukanlah saudara seiman.
"Masyarakat Indonesia mampu memilah yang mana sisi keagamaan dan yang mana sisi kebangsaan," kata Ismail Hasani dalam jumpa pers kemarin. Disni kita mesti hati-hati, karena penelitian itu bergantung bagaimana worldview yang dibangun oleh periset dalam membangung kerangka pertanyaan. Apalagi Setara Institute, yang Tuhannya memang orang putih.
Padahal nasionalisme itu berbeda dengan Iman. Karena bagi Nasionalisme, benar dan salah bergantung kesepakatan sebuah bangsa. Sedangkan Islam benar dan salah adalah ketetapan Allah. Dalam Nasionalisme, warganya diharuskan berdiri jika mendengar lagu kebangsaan. Di Islam ada riwayat ketika Rasulullah saw. berang melihat para sahabat menyambutnya dengan berdiri.
Sekarang, pasca kekalahan para pemain Timnas mogok main. Mereka merasa kurang sreg dengan pelatih. PSSI pun meminta agar FIFA tidak menurunkan sanksi. Itu baru masalah mogok pemain dan sanksi FIFA. Bagaimana jika Allah mogok mengakui kita sebagai hambanya dan memberikan sanksi mengingat ajaranNya dikalahkan hanya oleh sebuah nasionalisme dan kulit bundar. Ya nasionalisme sepakbola yang telah membuat kita sesama muslim bertikai; Indonesia-Malaysia. Mesir-Al Jazair. Maroko-Tunisia.Jadi mengapa kita lebih takut sanksi FIFA, sedangkan sanksi Allah tidak? Allahua’lam. (pz)