Menanti Langkah Nyata ASEAN di Myanmar

Berbedanya sikap negara anggota ASEAN satu sama lain ini membuat sentralitas ASEAN kembali dipertanyakan. Sebenarnya, sikap ASEAN yang terkesan apatis ini cukup bisa dipahami. Dalam Piagam ASEAN dalam Pasal 2 Ayat 2 (e) dinyatakan bahwa negara-negara anggota ASEAN wajib untuk tidak campur tangan dalam urusan domestik negara-negara anggota lainnya. Belum lagi praktek prinsip ASEAN Way, khususnya prinsip ‘musyawarah untuk mufakat’ dalam mengambil sebuah keputusan atau sikap juga seringkali menambah komplikasi tersendiri bagi ASEAN. Layaknya ‘dua sisi mata koin’, di satu sisi prinsip ASEAN Way selama ini dianggap terbukti berhasil menjaga keutuhan ASEAN dan menjaga stabilitas politik dan keamanan di kawasan. Namun, di sisi lainnya, prinsip ASEAN Way juga menjadi tantangan terbesar dari ASEAN itu sendiri untuk bisa selalu relevan. Padahal, ASEAN harus selalu bisa relevan dengan konteks zaman dan tantangan yang menghadapinya. Peristiwa kudeta di Myanmar saat ini bisa jadi adalah ujian berat bagi sentralias dan kohesivitas ASEAN.

Belajar dari Praktek Masa Lalu
Winston Churchill pernah mengatakan, “Siapa yang gagal belajar dari sejarah akan dikutuk untuk mengulanginya.” Untuk itu, ASEAN perlu mencermati dan belajar dari proses-proses yang pernah terjadi di masa lalu. Persoalan kudeta di Myanmar bukanlah persoalan baru. Untuk menghadapi persoalan di Myanmar ini, diperlukan pendekatan yang khusus dan tidak biasa, karena Myanmar adalah negara yang unik dan memiliki histori tersendiri. Dibutuhkan tindakan proaktif dari negara-negara ASEAN untuk melakukan pendekatan personal kepada Myanmar. ASEAN membutuhkan salah satu dari negara anggotanya untuk memimpin misi penting ini.

Berkaca dari pengalaman sebelumnya menghadapi Myanmar, Indonesia di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah mengambil inisiatif jitu. Hubungan khusus Indonesia dan Myanmar bisa dikatakan spesial. Hubungan yang mulus terjadi adalah berkat dari insiatif Presiden SBY untuk aktif berkomunikasi dengan pemimpin Myanmar di berbagai lintas era kepemimpinan, mulai dari Tan Shwe hingga U Thein Sein. Inisiatif ini tidak dilakukan oleh negara-negara ASEAN lainnya. Sejak 2008, SBY seringkali berkirim surat dengan Jenderal Tan Shwe tentang dukungannya terhadap proses transformasi dan demokratisasi di Myanmar. Inisiatif Indonesia pun mendapatkan respon positif dari pemerintah Myanmar. Pendekatan personal ini terbilang unik dan efektif, karena mungkin keduanya sama-sama berlatarbelakang militer. Proses negosiasi dan rekonsiliasi yang pernah dilakukan di Indonesia dijadikan salah satu referensi oleh Myanmar.

Tidak berhenti di komunikasi semata, bantuan nyata juga dilakukan oleh Indonesia untuk Myanmar. Di tahun 2011, Indonesia membantu Myanmar dalam hal bantuan teknis dan pengembangan kapasitas kepada Myanmar dalam bidang good governance, penguatan demokrasi dan hak asasi manusia (HAM). Indonesia pun mengembangkan kerja sama institusi terkait di Myanmar dengan KPU, Komnas HAM dan LIPI di Indonesia untuk memberikan pelatihan bagi panitia penyelenggara pemilu Myanmar. Myanmar juga selalu aktif terlibat dalam Bali Democracy Forum yang diinisiasi Indonesia.