Namun, semakin banyak kelas menengah mengerti politik dan mempunyai akses media sosial, merekapun mahfum bahwa Prabowo sebenarnya dalam istilah Karl Marx sudah melakukan “bunuh diri kelas”. Sebagai sosok yang merupakan keturunan Pangeran Diponegoro, kakeknya pendiri Bank Negara Indonesia, pamannya wafat di bunuh Jepang pada masa proklamasi, dan bapaknya menteri dan arsitek politik pro pribumi Indonesia (dengan ide politik Benteng), tentunya sejak kecil Prabowo sudah berada pada lingkungan menak (anak orang kaya raya).
Prabowo memikirkan rakyat miskin tentu bertentangan dengan pikiran kaum Marxis. Namun, dalam teori agama (Islam), orang kaya yang bersimpati dengan nasib kaum dhuafa tidak disebut “bunuh diri kelas”, melainkan hidayah dari Allah semata.
Mungkin ada sedikit masalah dengan Prabowo, yakni mengapa seorang pemimpin “bertapa” di bukit Hambalang? Bukankah dia harus siap ketemu dengan rakyatnya setiap hari? Seperti para Nabi, misalnya?
Selama ini memang ketokohan Prabowo di rakyat sering diwakili oleh tangan kanannya, seperti Rachmawati Soekarnoputri, Jend (p) Djoko Santoso, Letjen (p) Suryo Prabowo, Ferry Juliantono, Fadli Zon dll. Belakangan ini kelihatannya Prabowo sudah mulai banyak di markasnya di Jakarta, bukan lagi di Hambalang. Ini mungkin sebuah upaya pemaksimalan yang penting.
Semua hal menyangkut sisi leadership Prabowo, dari uraian di atas, sejauh ini cukup optimal.
Logistik Prabowo
Masalah perang adalah masalah logistik. Kira2 itulah pandangan Sun Tzu ahli perang terbesar Cina di masa lalu. Berbeda dengan Sun Tzu, kaum ideologis khususnya jika merujuk pada perjuangan Nabi Muhammad (sebgai ilustrasi saja), justru ideologi menjadi sumber kemenangan perang. Semua perang dalam sejarah Islam dan sejarah komunis menang ketika ideologi perjuangan menjadi dasar pijakan. Seorang ideolog melihat senjata hanyalah unsur penting, bukan unsur utama.
Kelalahan Prabowo pada tahun 2014 versus Jokowi, tentu telah menguras banyak logistik Prabowo. Bahkan sesungguhnya sejak Prabowo melakukan gerakan politik partai belasan tahun ini, semua menghabiskan uangnya. Namun, apakah tanpa logistik yang cukup Prabowo hancur?
Fakta menunjukkan bahwa menurunnya logistik Prabowo, berbanding lurus dengan bertambahnya “intangible assets” nya. “Intangible Assets” ini berupa sangat tingginya kepercayaan publik pada sosok Prabowo. Dalam pertarungan bahkan di dunia bisnis, intangible assets seringkali lebih dahsyat daripada real asset. Bagaimana mengukurnya?
Ukuran tingginya kepercayaan terhadap Prabowo dapt dilihat pada pilkada 2018 dan pilkada 2017. Meski rezim Jokowi mengeluarkan semua upayanya, baik kekuasaan, kekerasan politik dan logistik yang besar, pencapaian Jokowi kalah jauh dengan Prabowo.
Jokowi pada pilkada 2018 hanya mampu mengklaim keberhasilan menempatkan Ridwan Kamil di Jabar, yakni dengan pengasosian dirinya dengan figur Cagub. Di Jateng dan Jatim tidak terdapat hubungan asosiatif antara Jokowi dengan Cagub. Sedangkan Prabowo, hubungan asosiatif dengan Cagub dukungannya di Jabar dan Jateng bersifat langsung. (Bahkan di Jawa Timur, kecurigaan antara kelompok pendukung Jokowi terkait dukungan Jokowi di pilgub, jadi isu baru yang membawa luka)
Meski Prabowo tidak menang di Jabar dan Jateng, tapi perolehan suaranya sangat besar. Sebagai catatan tambahan, dari hasil pilkada Jabar, peta sosiologis pendukung Jokowi vs Prabowo jika cuma dua petarung ini di pilpres 2019, tetap Prabowo jauh di atas Jokowi.