Oleh : Fathuddin Ja’far, MA
Direktur Spiritual Learning Centre
Jl. Prof. Lafran Pane No. 198 Cimanggis Depok
Email: [email protected]
Akhirnya teka teki itu terjawab juga. Nyata sudah ke mana kapal PKS bersandar dalam Pilpres 2009 yang akan datang. Dengan langkah yang mantap, PKS menyatakan dukungannya pada pasangan capres dan cawapres SBY-Boediono. Tanpa ragu, para petinggi PKS mulai mensosialisasikan keputusan politik praktis mereka kepada para pimpinan dan kader di daerah, di antaranya melalui pesan singkat Presiden PKS, Tifatul Sembiring yang menjelaskan duduk perkara koalisi tersebut. Anehnya, sehari sebelum keputusan itu diambil, sang Presiden PKS masih ngotot bahwa pasangan SBY-Boediono adalah pasangan yang tidak pas karena tidak mencerminkan gabungan Islam-nasionalis. Hal itu hanya akan menyulitkan partai untuk menjelaskannya kepada konstituen dan pendukung partai. Semua itu akan menyebabkan mesin poltik pada Pilpres mendatang menjadi macet. Sehari kemudian, tiba-tiba sikap keras itupun buyar dan berbalik 180 derajat, sesaat setelah pertemuan empat mata antara ketua Majelis Syuro PKS Ust, Hilmi Aminuddin dengan SBY di Bandung 15 Mei yang lalu.
Sebab itu, akrobatik dan permainan sulap politik PKS tersebut menarik untuk dipelajari dan disoroti, agar umat Islam umumnya dan para kader PKS khususnya dapat memahami apa yang sebenarnya terjadi dalam tubuh PKS, khususnya pada kalangan elitenya.
Sebelumnya, pada Jumat, 01 Mei 2009 Sapto Waluyo, salah seorang kader PKS menuliskan kegundahannya pada harian Republika dengan judul Komunikasi Politik PKS. Tulisan tersebut sangat menarik. Kendati tulisan itu pendek, tapi mengenai sasaran utamanya. Kalau tidak salah, ini adalah kader PKS pertama dalam sejarah hidup partai yang mengklaim sebagai partai dakwah itu, yang berani mengkiritik langsung para petingginya secara terbuka. Dengan munculnya tulisan tersebut, paling tidak saudara Sapto Waluyo telah memulai sunnah hasanah (tradisi baik) dalam tubuh PKS itiu sendiri, yakni mengajak para elite partai itu untuk introspeksi diri dan mau mendengar nasehat dari kader atau dari siapa saja yang selama ini nyaris diharamkan. Atau dengan kata lain, mau melakukan nahi munkar di kalangan internal, khususnya terhadap kalangan elite sendiri.
Tidak berlebihan, jika dikatakan tulisan Sapto Waluyo mengandung sejuta makna. Sebagai seorang kader dan sebagai insan media yang biasanya memiliki penciuman tajam, pastilah Sapto Waluyo mengenal banyak hal tentang seluk beluk para elite PKS dalam memimpin partai yang didirikan pertama kalinya untuk kepentingan dakwah Islam, bukan kepentingan nasionalisme, sekularisme dan jangka pendek/pragmatisme para elitenya.
Apa yang sedang menjadi keprihatinan Sapto Waluyo – dan mungkin juga ribuan kader lainnya – dari tulisan tersebut dapat digarisbawahi sebagai berikut :
Manuver dan pernyataan elite PKS yang memancing kontroversi. PKS berperilaku bak debt collector yang main ancam demi mencapai kepentingan politiknya. Setiap pernyataan dan manuver elite PKS ternyata tak diukur manfaat dan mudharatnya terlebih dulu. Karena itu, PKS mengusulkan figur nonpartai. Ini seperti merendahkan posisi PKS sendiri, betapa manuver berkoalisi tanpa daya tawar yang memadai. Ketiga contoh itu mencerminkan betapa buruknya komunikasi politik sebagian elite PKS.
Kapasitas PKS sebagai learning organization mulai diragukan. Sesungguhnya, PKS telah ‘dihukum’ publik dan pemilih yang kritis dengan ‘kekalahan’ di Jakarta, Depok, Bekasi, Bandung, dan kota-kota besar lain. ‘Jurus dewa mabuk’ sebagian elite PKS dan iklan yang warna-warni. Target nasional 20 persen suara masih terlalu jauh dari jangkauan karena kesalahan strategi. Bahkan, prediksi yang realistik 12-15 persen suara pun tak tercapai.
Sesungguhnya bagi yang mengenal para elite PKS, bahkan jauh sebelum era partai, yakni sekitar tahun 80an sampai 90an, apa yang menjadi keprihatinan seorang Sapto Waluyo dan mungkin juga ribuan simpatisan lainnya tidaklah mengherankan. Karena bibit-bibit ketidak beresan itu sudah nampak jauh sebelum partai itu berdiri. Karena itu, sulit diharapkan PKS akan menjadi partai politik Islam yang besar selama carut marut elitenya tidak bisa diperbaiki. Hayalan sebagaian elitenya ingin mengalahkan Masyumi yang berhasil meraih 20 % suara pemilu tahun 1955, akan semakin jauh panggang dari api. Apalagi jika ingin menjadi teladan bagi partai dan ormas Islam lainnya dalam menegakkan ajaran Islam di negeri Islam terbesar di dunia saat ini.
Tulisan ini, mencoba membahas akar permasalahan yang sedang melilit tubuh PKS dan para elitenya, sehingga menyebabkan kondisi PKS carut-marut seperti sekarang ini. Ajaibnya lagi, sebagian besar kadernya belum menyadari dan bahkan selalu membelanya dengan membabi buta. Tak heran jika ada yang mengatakan, PKS ibarat pohon yang sedang mengalami keropos dari dalam. Kalau tidak diterapi secara maksimal, – mungkin dengan cara amputasi – tidak mustahil partai dakwah itu akan roboh tahun 2014 yang akan datang, atau paling tidak mengalami set back seperti yang sudah dan sedang dialami partai-partai Islam lainnya seperti PPP. PBB dan PBR. Karena itu, tulisan ini bertujuan memberikan masukan dalam perspektif dakwah Islam.
Sebelum membahas akar permasalahan yang sedang melilit PKS, alangkah baiknya kita baca fenomena PKS melalui fakta terkait perolehan suaranya sejak tahun 1999 sampai 2009. Pada Pemilu 1999, yakni setelah satu tahu umurnya, yang saat itu bernama Partai Keadilan (PK) meraih sekitar 1.6 % suara. Perolehan suara partai yang kemudian berubah nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) melonjak tajam pada Pemilu 2004, yakni menjadi sekitar 7.34 %. Pada Pemilu 2009, PKS hanya meraih sekitar 7.88 %.
Yang menarik untuk dicermati, kendati perolehan suara secara persentase naik tipis sekitar 0,5 %, namun bila kita lihat dari total perolehan suara, sebenarnya menurun sekitar 130,000 suara. Di kota-kota besar seperti Jakarta dan sekitarnya penurunan itu sangat tajam. Sebaliknya di beberapa daerah mengalami kenaikan. Di DKI Jakarta misalnya, pada Pemilu 2004 PKS meraih sekitar 1,1 juta suara. Kemudian pada Pilkada DKI Jakarta setahun lalu, PKS meraih 1,53 juta suara. Menurut berabagai sumber, Adang membawa sekitar 0,5 sampai 0,6 juta suara. Jika data itu benar, berarti suara PKS di Jakarta dalam kurun 4 tahun mengalami penurunan sekitar 0,1 sampai 0,2 juta suara. Kemudian pada Pemilu 2009 yang baru lalu PKS hanya meraih suara sekitar 0,69 juta. Artinya, lima tahun belakangan suara PKS di DKI Jakarta merosot tajam sekitar 0,41 juta suara atau sekitar 37,27%. Kemerosostan tersebut menyebabkan PKS hanya meraih rangking tiga pada Pemilu 2009 di mana pada Pemilu 2004 meraih rangking pertama. Kali ini yang menjadi rangking pertama adalah PD dengan perolehan suara 31,89 %, kemudian PDIP 15,89% dan disusul PKS 13,12%.
Kecenderungan penurunan suara PKS itu sebenarnya sudah terlihat tiga tahun belakangan di berbagai Pilkada seperti DKI Jakarta, Bogor, Bekasi, Bandung, Jawa Barat, Sumatera Utara, (kendati menang pada dua propinsi ini dengan menggandeng tokoh dari PAN dan Golkar) dan berbagai daerah lainnya. Sayangnya, gejala penurunan tersebut ditanggapi secara keliru oleh para elite PKS. Untuk mendongkrak suara bukannya dengan memperbaki kinerja dakwah, mereka malah mengikuti pola dan strategi yang biasa dilakukan oleh partai-partai politik lainnya yang tidak mengedepankan nilai-nilai Islam, di antaranya jorjoran kampanye dengan menghamburkan dana besar-besaran, bahkan dengan menampilkan penyanyi dangdut dan band-band terkenal serta berbagai trik lainnya yang tak terpuji seperti menggandeng calon-calon kepala daerah yang bermasalah. Kaedah yang diterapkan adalah, yang penting kontribusi dananya Bung! Asal muasal dananyapun sudah tidak menjadi penting.. Setidaknya, menurut pengakuan sekjen PKS, Anis Matta, 36 milyar ludes buat kampanye. Walaupun menurutnya, dana sejumlah itu tergolong kecil dibanding partai-partai lain.
Pada Pemilu 2009 yang lalu, perilaku-perilaku tak terpuji itu semakin menggila. Lihat saja iklan-iklan PKS di tv dan iklan-iklan raksasa para caleg PKS yang terpampang di berbagai kota. Bendera, pamphlet dan spanduk yang mewarnai jalan-jalan protokol dan kampung yang terkadang tumpang tindih. Bukankah itu suatu kemubaziran? Apalagi jika ada yang bertanya : dari mana uangnnya diperoleh? Karena kebanyakan mereka dikenal beberapa tahun lalu masih biasa-biasa saja. Wajah-Wajah caleg wanita PKS yang dipampang pada spanduk dan baliho di pinggir-pinggir jalan berdampingan dengan para caleg kaum prianya dengan style genit dan menggelikan yang 10 tahun lalu masih dianggap haram. Belum lagi persaingan yang tidak sehat yang terjadi di antara sebagian caleg dalam merebutkan kursi yang sama setelah keputusan MK yang tidak memberlakukan nomor urut. Di samping itu semua, tercium pula sebagian caleg PKS juga menggunakan politik uang untuk membeli suara rakyat sebagaimana yang sering dilakukan oleh sebagian caleg dari partai-partai lain yang tidak menggunakan nama Islam.
Kendati belum terdengar para caleg PKS yang mengambil kembali sumbangannya ke Masjid, atau gila dan bunuh diri akibat kalah dalam Pemilu 2009 yang lalu seperti yang terjadi pada banyak caleg dari partai-partai lain, namun demikian bukan berarti sebagian caleg PKS yang tidak lolos itu tidak bermasalah. Kita sudah mendengar selentingan tentang kekesalan sebagian caleg yang tidak lolos dan menyebut-nyebut upayanya dalam membantu masyarakat seperti, mengepush dinas PU tertentu untuk membangun fasilitas di desa tertentu. Setelah sang caleg tersebut kalah di desa itu dan bahkan dapat suara hanya satu, dengan serta merta caleg tersebut emosi dan meminta kalangan PU terkait agar fasilitas yang sedang dibangun di desa tersebut segera dipindahkan ke tempat lain. Sungguh memalukan…
Dengan gaya dan cara kerja seperti itu, para kader dan elite PKS lupa bahwa mereka sedang melakukan blunder atau menggali kuburan sendiri. Karena banyak hal yang mereka lakukan bertolak belakang dengan prinsip dan nilai-nilai dakwah yang mereka dengungkan selama ini, di antaranya terkait dengan keikhlasan beramal. Mereka juga lupa mayoritas pendukung, khususnya dari kalangan simpatisan PKS itu orang-orang yang menginginkan kebaikan dan perubahan berdasarkan nilai-nilai Islam, bukan nilai jahiliyah. Di samping itu, konsentrasi penuh terhadap pola-pola dan aktivitas-aktivitas politik praktis tradisional yang mereka lakukan tidak mampu dan tidak akan pernah mampu mempengaruhi pola fikir masyarakat untuk mendukung dan mencintai PKS sebagai partai dakwah, termasuk kepada para kader yang kritis dan jujur dalam menerapkan ilmunya.
Sebuah fakta yang tak terbantahkan, dari sekitar 8 juta suara yang diraih PKS, kontribusi kader pendukung dan simpatisan mencapai sekitar 7 juta orang. Artinya, yang kemungkinan loyal mutlak sampai akhir hayat kepada PKS itu adalah para kader inti partai sekitar 12,5% atau sekitar 1 juta orang. Di samping itu terdapat juga sebagian kader pendukung yang bersikap terhadap PKS seperti kader intinya. Mereka inilah yang setiap saat didoktrin dengan berbagai doktrin agama (sebut : menggunakan agama) yang terkadang dijelaskan jauh dari pemahaman yang sebenarnya, sehingga mereka tidak sempat menggunakan akal sehat dalam membaca sepak terjang para petinggi partai dan menalar fenomena yang ada. Bahkan, belajar nilai-nilai Islampun seakan sudah tidak perlu lagi, karena semua apa yang dilakukan elite selalu mendapat stempel kesucian dan kebenaran lembaga tinggi partai yang bernama Dewan Syari’ah atau Dewan Syuro. Setiap saat para kader hanya dijejali informasi satu arah bersifat top down dan kewajiban mentaati semua keputusan elite atau lembaga tinggi partai serta larangan menalar dan mempertanyakannya.
Dalam berkoalisi (musyarokah) misalnya, sejak 2004 sampai hari ini, petinggi PKS selalu menggunakan doktrin “ muhtamal rojih fauzuhu (berkoalisi dengan yang kemungkinan besar menang). Doktrin sesat dan menyesatkan ini turun dari sang petinggi partai yang konon dinisbatkan ke tokoh dakwah dari luar sana. Sebab itu, doktrin tersebut dianggap oleh para kadernya sebagai SABDA yang haram untuk dipertanyakan kebenaran syar’inya. Kalau ada satu atau dua kader yang mempertanyakan, para petinggi pasti menjawabnya dengan jawaban yang ngawur. Sebaliknya, kita sering mendengar ungkapan konyol dari kader dalam menanggapi kritik masyarakat terhadap PKS, seperti, tidak mungkin para petinggi partai itu salah, karena mereka orang-orang baik (mengerti agama) dan para doktor syari’ah. Tsiqoh (percaya) ajalah! Kader seperti ini (mayoritas) pada hakikatnya sedang menikmati hidup dengan berprinsip membabi buta : right or wrong is my party dan right or wrong is my leader. Dalam istilah Hadits Rasul Saw, mereka ini disebut dengan “imma’ah”, alias pengekor. Namun demikian, diperhitungkan ada sekitar 10 % kader partai yang masih kritis, kendati tidak berani menyuarakan fikiran, isi hati, ilmu dan pendapat mereka.
Kondisi tersebut di atas diperparah lagi oleh ketidak jelasan visi dan misi PKS sebagai sebuah partai dakwah. Bukankah sebuah partai dakwah atau Partai Allah itu memiliki visi khilafatullah dan misi ibadah melalui penegakkan syari’at Allah di atas muka bumi? Apa yang tampak jelas ialah, segelintir elite yang haus kekuasaan dan oportunis di PKS malah sibuk bernegosiasi (baca : menjajakan diri dan partai) ke sana dan kemari membangun sebuah koalisi Pilpres 2009 yang dibungkus dengan “kepentingan partai dan masyarakat”, seperti halnya yang mereka pertontonkan pada Pilpres 2004 yang lalu. Musyarokah (koalisi) sudah berjalan hampir genap 5 tahun. Apa hasilnya? Apa menunggu koalisi 5 tahun lagi, kemudian 5 tahun lagi dan seterusnya? Yang jelas adalah, apa yang mereka lakukan tidak lebih dari sebuah koalisi pragmatis jangka pendek. Tidak peduli hasilnya seperti apa. Sebab itu, tak salah jika ada yang mengatakan koalisi yang dilakukan PKS sama sekali tidak ada kaitannya dengan kemaslahatan Islam dan umat Islam jangka pendek, apalagi jangka panjang.
Di tengah akrobatik dan permainan sulap poltik praktis tersebut, sebagian elite lain sibuk pula menjawab pertanyaan atau isu-isu yang dilontarkan oleh orang atau kelompok anti Islam seraya berkata: Saya bukanlah wahabi (mengikuti pemahaman akidah Islam yang diajarkan Muhammad Bin Abdul Wahab) kendati meraih pendidikan tinggi dari Saudi Arabia. Tidak semua lulusan Saudi itu wahabi, katanya dengan bangga.
Yang lebih mengenaskan lagi, mereka sibuk menjawab dan mengeluarkan statement untuk berkomitmen tidak menerapkan hukum Islam atau syari’at Allah di atas bumi Allah yang bernama Indonesia jika PKS berkuasa. Bahkan ada yang mengatakan syari’at Islam itu agenda masa lampau. Kalau ditanya oleh kader, mereka berkilah, ini hanya strategi menjaga dakwah.
Perlu mereka ketahui, ucapan tersebut tidak pantas diucapakan oleh tokoh partai dakwah dan hanya pantas diucapkan oleh tokoh partai nasionalis dan sejenisnya. Apakah mereka sudah menyakini kebenaran finalnya Pancasila dan UUD 45 sebagai landasan sebuah negara sehingga Al-Qur’an dan Sunnah diletakkan di bawahnya atau dibuang begitu saja? Atau karena gemetaran menerima pertanyaan dari kalangan pengusaha Cina? Jika asumsi pertama yang terjadi, berarti itu adalah ucapan kekufuran yang mengakibatkan akidah jadi bermasalah. Bila yang kedua yang dimaksud, maka itu adalah ucapan kemunafikan. Na’uzubillahi min dzalik.
Sepertinya, semua itu dilakukan hanya demi mengejar jabatan dan kursi cawapres dan sebagainya. Akhirnya, kursi cawapres yang diincar tak kunjung diraih. Sementara partai nasionalis seperti Hanura dan Gerindra yang meraih suara jauh di bawah PKS malah mendapat kursi yang mereka incar, minimal kursi cawapres. Apa yang dilakukan elite PKS itu persis bak kata penyair : Kami tambal dunia dengan merobek-robek agama kami. Akhirnya agamapun lenyap dan dunia yang ditambalpun juga tak kunjung dapat.
Melihat fenomena tersebut sulit diharapkan PKS akan menjadi partai politik Islam yang besar, kuat dan diprediksi mampu merubah kehidupan jahiliyah di negeri ini menjadi kehidupan islami yang menjadi syarat utama terwujudnya sebuah negeri “Baldatun Thayyibatun Warabbun Ghafur”, sebuah negeri baik yang mendapat ampunan Allah (Q.S. 34 : 15). Karena, secara nyata PKS tidak memiliki muqawwimat (faktor-faktor pendukung) ke arah itu, bahkan kehilangan jati diri sebagai sebuah partai dakwah.
Menurut hemat saya, hal tersebut paling tidak disebabkan tiga faktor utama berikut :
1. Leadership Tradisional
Leadership (kepemimpinan) yang diterapkan dalam tubuh PKS sangatlah tradisional dan cenderung diktator, sejak dari tingkat paling atas sampai ke tingkat yang paling bawah. Pola top down adalah suatu keharusan. Pemimpin, apalagi pemimpin tertinggi nyaris berprilaku sebagai seorang suci yang tak pernah bersalah dan mengetahui semua masalah. Apapun yang diinginkan dan di sampaikan harus menjadi sebuah titah atau sabda yang wajib dilaksanakan. Para kader tidak boleh menanyakannya, kenapa begini dan begitu. Apalagi mengkritik dan meluruskan. Hampir tidak ada kesempatan diberikan kepada kader untuk berfikir dan memahaminya dengan kaedah-kaedah ilmu yang benar.
Masih segar dalam ingatan kita saat menjelang Pilpres 2004 lima tahun lalu. Betapa kehendak dan keinginan sang petinggi PKS bisa membatalkan hasil rapat Majelis Syuro berkali-kali karena hasilnya berbeda dengan keinginannya. Mayoritas anggota Majelis Syuro saat itu menginginkan dukungan terhadap capres Amien Rais. Sedang pucuk pimpinannya Ust Hilmi Aminuddin dan segelintir anggota Majelis Syuro yang sepaham dengannya menginginkan dukungan diberikan kepada Jendral Wiranto. Kendati keputusan akhir Majelis Syuro yang diputuskan sehari sebelum Pemilu presiden 2004 berpihak kepada Amien Rais, namun di lapangan kasak kusuk pimpinan dan mereka yang sepaham dengannya tetap saja terjadi. Kami pernah mengkonfirmasi kepada salah seorang kader yang ditelpon langsung sang pemimpin sebelum memilih sambil berkata : “Yang memahami dakwah pasti mendukung Wiranto”. Yang lebih sadis lagi ialah setiap kader yang berani mengkritik pemimpin secara terus terang, pasti umurnya di partai tidak akan lama alias dipecat. Pemecatannyapun tidak perlu mengikuti aturan main yang ada.
Yang menyedihkan lagi ialah, pola kepemimpinan seperti ini sudah menular sampai ke level terbawah, yakni kelompok-kelompk pengajian yang dikelola langsung oleh partai tingkat Depera. Anggota kelompok pengajian mingguan seringkali tidak mendapat respon hal-hal yang menjadi keberatan atau yang perlu mendapat konfirmasi. Bila ditanyakan kepada ketua kelompok, kita akan selalu mendengar ungkapan : “ Tsiqoh (percaya) sajalah kepada jama’ah atau partai karena sudah hasil syuro” dan berbagai ungkapan lain yang aneh tapi nyata.
Untuk menjadikan semua keputusan dan keinginan pemimpin berjalan dengan mulus, pimpinan PKS menerapkan enam rukun leadership yang kesemuanya diambil dari istilah-istilah syar’i (terminology Islam) yang amat populer, yakni , ta’at, tsiqoh (percaya), husnuzh-zhan, fiqhuddakwah, ijtihad dan syura qiyadah (musyawarah pemimpin). Akhir-akhir ini, berkembang lagi dua istilah baru, yakni zuhud dan qona’ah fikriyah (kepuasan berfikir). Istilah-istilah tersebut memang sangat luar biasa pengaruh positifnya dalam kehidupan berjamaah atau berpartai. Tapi, akan menjadi malapetaka besar bagi sebuah jamaah atau partai jika pemahamannya keliru atau diselewengkan. Di samping enam rukun tersebut, ada dua istilah besar lain yang diajarkan pemahamannnya secara salah, yakni jama’ah dan bai’at. Dua istilah terakhir sangat efektif untuk dijadikan alat pengendali para kader agar tidak memiliki kesempatan berfikir kritis dan berbeda.
Sebab itu, sejak sebelum berdirinya partai sampai saat ini, kehidupan berjamaah para kader terasa hanya satu arah, yakni top down. Belum pernah terdengar seorang kader atau lembaga tinggi partai yang berwenang seperti Dewan Syari’ah atau Majelis Syuro misalnya, menanyakan tanggung jawab pemimpinya dan apakah tanggung jawab itu sudah ditunaikan dengan baik , maksimal dan adil, apalagi meminta pertanggung jawaban di hadapan Majelis Syuro atau Dewan Syariah kendati sudah memimpin hampir 30 tahun. Selama itu pulalah para kader selalu dituntut untuk taat dan tsiqah, apapun yang diminta. Padahal sudah menjadi kesepakatan dunia, bahwa berlama-lama dalam kepemimpinan itu cenderung menggiring sang pemimpin menjadi korup, apalagi saat kepemimpinan dijalankan dengan represif dan diktator.
Dalam tradisi PKS tidak dikenal istilah check and balance, transparansi, akuntabilitas dan sebagainya. Kepemimpinannya benar-benar tradisional, mirip kepemimpinan gereja di abad pertengahan. Semua nilai kebaikan dan kebenaran adalah monopoli tokoh agama yang sekaligus jadi pemimpin masyarakat. Akibat lain dari model kepemimpinan tradisional yang dijalankan, para kader jadi kehilangan rasa dan penciuman akan hak-hak mereka yang dirampas atas nama agama, dakwah dan perjuangan, khususnya hak berjamaah, berdakwah dan berislam secara benar yang dilandasi ilmu dan pemahaman.
2. SDM Kurang Berkualitas
Para elite PKS selalu bangga dan mengklaim bahwa partai mereka adalah partai terdidik. Terdapat sekitar 200 orang kader yang berpredikat doktor dan ribuan lainnya bergelar sarjana dalam berbagai lapangan. Secara kuantitas harus diakui sangat signifikan. Persoalannya bukan terletak pada kuantitas, akan tetapi pada kualitas. Sebuah pertanyaan yang selalu mengelitik kita ialah, kemana saja ratusan doktor dan ribuan sarjana itu? Apa saja peran yang sudah, sedang dan yang akan mereka mainkan dalam merekonstruksi kehidupan umat dan bangsa ini, khususnya dalam dunia perpolitikan negeri yang carut-marut ini?
Dalam perspektif dakwah, peran politik sebuah partai poltik Islam ialah melakukan reformasi (perbaikan) sistem pemerintahan secara menyeluruh paling tidak mencakup :
- Sistem politik.
- Hukum dan Perundang-undangan.
- Manajemen pemerintahan.
- Sistem pendidikan (formal dan informal).
- Sistem ekonomi dan bisnis.
- Kepolisian, militer dan keamanan
- Media dan sosial kemasyarakatan.
- Seni dan kebudayaan.
Dari delapan poin tersebut, reformasi apa yang sudah dilakukan oleh PKS selama 10 tahun terlibat politik? Padahal mereka selau mengklaim sebagai partai dakwah, bahkan mengklaim sebagai penganut paham dakwah Ikhwanul Muslimin. Sebagai bahan masukan, alangkah baiknya kita melihat konsep ishlah siyasi (reformasi politik) yang digagas Hasan Al-Banna, pendiri Ikhanul Muslimin itu sendiri. Ada tiga hal yang menjadi fokus reformasi politik Hasan Al-Banna :
- Aspek politik, hukum dan manajemen pemerintahan yang dirinci sebanyak 10 poin seperti, Membasmi fanatik buta terhadap partai dan mengarahkan kekuatan politik umat kepada kesatuan arah dan kesatuan shaf. Mereformasi perundang-undangan sehingga sesuai dengan syari’at Islam dalam semua cabang-cabangnya. Memperkuat militer, memperbanyak perkumpulan para pemuda (seperti pramuka dan sebagainya) dan membangkitkan semangat juang mereka yang dilandasi Jihad Islami (fi sabilillah). Memperkuat ikatan negeri-negeri Islam, khususnya negeri-negeri Arab, sebagai landasan mewujudkan pemikiran terkait tegaknya Khilafah yang sudah hilang. Membangkitkan spirit keberislaman di lembaga-lembaga pemerintahan sehingga semua warga merasakan akan kebutuhan mereka terhadap ajaran Islam. Mengontrol prilaku pegawai negeri dan tidak membedakan antara prilaku individu dengan profesi mereka. Membasmi KKN (sogok, upeti, hadiah dan sebagainya) dan berpatokan atas kecukupan dan ketentuan undang-undang saja. Menimbang semua aktivitas pemerintahan dengan timbangan Islam dan ajaran Islam. Maka aturan pesta peringatan hari-hari besar nasional, acara-acara resmi, penjara dan rumah sakit tidak boleh bertentangan dengan ajaran Islam dan demikian pula jam kerja tidak boleh bentrok dengan waktu-waktu shalat fardhu.
- Aspek sosial dan keilmuan yang dirinci sebanyak 30 poin seperti, Membiasakan masyarakat untuk menghormati etika umum, membuat petnjuk-petunjuk yang jelas untuk menjaga undang-undang terkait dan memberikan hukuman yang keras terhadap para pelanggarnya. Mengobati persoalan kaum wanita dengan obat yang menggabungkan antara ketinggian nilai dan penjagaan atas mereka sesuai dengan ajaran Islam agar persoalan masyarakat yang amat penting ini, tidak dibiarkan di bawah kasih sayang tulisan dan pendapat mereka yang mengabaikan atau berlebihan secara ekstrim. Membasmi pelacuran, baik yang sembunyi-sembunyi maupun yang terang-terangan dan menganggap perzinahan adalah tindakan kriminal yang harus diingkari. Apapun situasinya dan pelakunya harus dihukum. Membasmi perjudian, khamar sebagaimana juga narkoba dan mengharamkannya agar masyarakat terbebas dari kejahatannya. Menggalakkan pernikahan dan berketurunan dengan berbagai cara dan membuat undang-undang yang melindungi keluarga serta mencarikan solusi yang dihadapi. Memerangi berbagai tradisi yang berimplikasi negatif terhadap ekonomi atau moral. Mengarahkan masyarakat kepada tradisi-tradisi positif dan produktif dan pemerintah beserta segenap penyelenggara negara haruslah menjadi contohnya. Menyusun sistem dan startegi pendidikan yang mampu meningkatkan kualitas SDM dengan target-target yang jelas bagi setiap level pendidikan. Mengarahkan media massa agar menjadi sarana pendidikan dan hiburan yang cerdas dan bersih. Konsentrasi terhadap masalah kesehatan masyarakat dan mensosialisasikan masalah kesehatan tersebut serta memperbanyak sarana pelayanan kesehatan masyarakat seperti rumah sakit dan sebagainya agar mudah dan murah. Menata perumahan dan perkampungan yang berlandaskan keindahan dan kebersihan.
- Aspek ekonomi yang mencakup 10 poin. Di antaranya, mengatur masalah zakat, baik pemungutannya maupun pendistribusiannya berdasarkan syariat Islam, termasuk kebutuhan umum seperti panti jompo, anak yatim, fakir miskin dan penguatan militer. Mengharamkan riba dan memenej dunia perbankan sehinnga menuju transaksi bebas riba. Menggalakkan proyek-proyek ekonomi dan meciptakannya sebanyak mungkin sehingga mampu menampung seluruh potensi tenaga kerja dan melepaskan diri dari ketergantungan pada tenaga kerja asing dalam semua sektor. Menjaga masyarakat dari praktik monopoli ekonomi, memberikan batas-batas yang wajar serta mengarahkan perusahaan-perusahaan asing maupun nasional untuk kemaslahatan masyarakat. Memperbaiki selalu kondisi pegawai negeri dan buruh dengan cara menaikkan gaji mereka dan mengurangi jumlah pegawai level atas. Memotivasi sektor pertanian, perkebunan dan perindustrian serta berupaya selalu meningkatkan kualitas produksi pertanian dan industri. Mengutamakan proyek-proyek vital seperti infrastruktur ketimbang proyek-proyek mercusuar lainnya.
Agar tidak menjadi debat kusir, coba evaluasi dengan baik keberadaan PKS 10 tahun berpolitik dengan menurunkan ribuan kader sebagai anggota legislatif dan sekian banyak yang terlibat di eksekutif. Reformasi apa gerangan yang telah mereka lakukan berdasarkan cara pandang dakwah yang selama ini diklaim dan didendangkan?
Melihat kenyataan di atas, kiranya tak perlu PKS berbangga dengan 200an kadernya yang berpredikat doktor dan ribuan sarjana dalam berbagai bidang, termasuk bidang syar’i. Berapa di antara mereka yang memiliki keahlian dalam bidang ekonomi dan sistem keuangan Islam? Berapa di antara mereka yang menguasai undang-undang pidana dan perdata Islam dengan segala macam komparasinya dengan undang-undang jahiliyah lainnya? Berapa di antara mereka yang menguasai konsep pendidikan Islam yang dapat memberikan solusi nyata bagi keterpurukan SDM negeri ini? Berapa pula di antara mereka yang menguasai konsep politik dan manajemen pemerintahan Islam sehingga menjadi pemerintahan yang bersih dan kuat mengadapi ancaman dari dalam dan penjajahan moderen dari luar? Berapa pula gerangan di antara mereka yang memiliki keahlian mengatasi berbagai problematika sosial dan kemiskinan yang semakin hari semakin meroket? Berapa mereka yang meguasai konsep media Islam yang bersih dan cerdas sehingga media di negeri ini menjadi sarana pendidikan dan hidburan yang bekualitas dan bersih dari unsur-unsur kemungkaran dan syahwat? Berapa di antara mereka yang memiliki keahlian di bidang strategi dan militer sehingga militer dan keamanan negeri yang amat besar ini kuat dan terlepas dari pengaruh dan ancaman asing? Berapa pula mereka memiliki peneliti-peneliti handal di bidang sains, teknologi, ekonomi, sosial, hukum dan sebagainya sehingga dapat menjadi referensi negara dan masyarakat? Dan banyak lagi pertanyaan yang layak dilontarkan.
3. Sentralistik Kekuasaan
Persoalan yang tak kalah besarnya yang sedang meilit tubuh PKS adalah sentralistik kekuasaan. Sentralistik dalam tubuh PKS nyaris mirip dengan sentralistik yang dibangun pemerintahan Soeharto selama 32 tahun. Saat petinggi PKS mengusulkan maaf bagi Soeharto, kemudian disusul dengan ucapan belasungkawa atas meninggalnya Soeharto di koran nasional dan setelah itu mengusulkannya menjadi pahlawan nasional, hakikat pola PKS dalam memenej (baca : memerintah) para kadernya sebenarnya sudah terjawab, yakni apa yang disebut dengan sentralistik atau seragamisasi mirip dengan zaman Orba.
Sentralistik dan seragamisasi telah melahirkan kader-kader yang taat buta dan tidak berani berbeda pendapat. Besar kemungkinan para doktor dan sarjana yang menjadi kader PKS tidak mampu membaca berbagai persoalan yang melilit tubuh PKS, atau mampu membacanya tapi tidak berani mengemukakannya, bukan karena mereka tidak pintar, melainkan kecerdasan mereka layu dan mengkerut karena virus doktrin yang diambil dari ajaran Islam yang diselewengkan makna dan tujuannya. Ambil saja istilah bai’at dan jamaah misalnya. Hampir semua kader dipahamkan jika mereka berbeda pendapat dengan qiyadah (pemimpin) dan mengeritiknya, hal itu bisa mencederai makna bai’at dan jamaah. Karena kritis itu dianggap melanggar salah satu rukun bai’at yaitu ta’at. Kritis yang dianggap melanggar bai’ah itu dapat pula berimplikasi negatif terhadap keislaman mereka. Ini tentulah amat menakutkan. Anehnya, pemahaman keliru seperti ini bukan hanya diamini (diiyakan) oleh para kader yang tidak berlatar belakang syari’ah. Yang berlatar belakang syari’ahpun sama-sama meyakininya.Mereka lupa bahwa rukun bai’at yang pertama adalah faham.
Akibatnya sudah dapat diprediksi. Di antaranya, lembaga-lembaga tinggi partai mandul. SDM-nya yang sangat potensial tidak berkembang dan bahkan mundur. Tradisi keilmuan menjadi mati suri. Debat dan diskusi dua arah lenyap ditelan bumi. Dominasi qiyadah (pemimpin) dengan segala levelnya semakin menjadi-jadi. Ketergantungan tehadap pemimpin sangat tinggi dan bahkan bagi sebagian kader telah menjadi candu. Arah dan tujuan hidup, khususnya hidup dakwah tergantung kepada atasan. Terjadi kehidupan elitis dan materialistik yang menggelikan dan mengerikan. Kendatipun pemimpin dan para elitenya menari-nari di atas penderitaan kadernya, semuanya harus dapat dimaklumi. Bahkan sebesar apapun kesalahan dan keteledoran mereka dalam dakwah dan politik harus dipahami sebagai sebuah kebijaksanaan dan kecerdasan. Seperti apapun sepak terjang politik pragmatis elite mereka harus dilihat dengan kaca mata husnuzh-zhan (berbaik sangka). Nah, bila ini yang terjadi, maka tunggulah kehancuran.
Kesimpulan
Jika persoalan-persoalan tersebut tidak dipahami, dirasakan dan dicarikan solusi yang tepat berdasarkan ajaran Islam, sulit kiranya PKS akan menjadi partai politik Islam yang besar, kuat dan diharapkan mampu merubah kehidupan jahiliyah di negeri ini menjadi kehidupan islami. Doktrin-doktrin internal hanya mampu meyakinkan mayoritas kadernya. Masyarakat luas, khususnya umat Islam yang berjumlah hampir 200 juta semakin sulit dijangkau karena prilaku elite dan sebagian besar kader mereka sendiri.
Namun demikian, PKS akan tetap menjadi partai politik tradisonal seperti partai-partai Islam lainnya. Karena, konon menurut data survey, dari 10 orang Indonesia, hanya 3 orang yang kritis dan 7 orang lainnya ikutan saja. Dari 3 orang yang kritis itu hanya satu yang jujur dan berani berkata benar. Yang satu adalah oportunis, sedangkan yang satu lagi safety player. Jika survey tersebut benar, meminjam istilah kader PKS sendiri, sebenarnya harapan (perbaikan PKS) itu masih ada, tapi dengan syarat jika satu yang kritis dari 10 orang itu siap berkata benar kendati pahit dan siap menanggung apapun resiko organisasinya. Semoga… Allahu a’lamu bish-shawab.