Ramadlan Mubarok 1431 H diambang pintu, namun lagi-lagi umat Islam di suguhi berita yang memprihatinkan. Bukan sekedar karena kanaikan harga kebutuhan pokok yang oleh presiden SBY dianggap suatu yang wajar, entah dengan parameter apa sehingga seperti “hilang nurani” ketika rakyat dihimpit dengan berbagai kesulitan terutama naiknya TDL, inflasi harga-harga bahan pokok dianggap hal yang wajar.
Rakyat jadi melek saat ini, wajar kalau kemiskinan dan problem yang kompleks menimpa rakyat tidak pernah terurai dengan tuntas karena semua diletakkan dalam timbangan “hal yang wajar”, betul-betul Indonesia dengan penguasanya saat ini bermetamorfosa menjadi “negeri yang tidak wajar”.
Yang lebih spesifik lagi; suasana kekhusu’an menyambut ramadlan jadi “ternoda” dengan kembali tongosnya isu teroris dan yang paling spektakuler kembali di “kuyo-kuyonya” orang yang sudah sepuh usia, yang juga baru saja keluar dari kerangkeng besi menghirup udara “bebas”.
Ya, semua rakyat Indonesia mengetahui sosok seorang Ustad Abu Bakar Ba’asyir, terlepas dari pro dan kontra terhadap sosok beliau yang pasti peristiwa penangkapan yang kesekian kalinya oleh Den88 terhadap ustad ABB pada akhirnya juga melahirkan pro dan kontra.
Penangkapan Abu Bakar Ba’asysir telah melahirkan banyak pertanyaan berkelindan; apakah benar ustad Abu Bakar Ba’asyir terlibat tindakan teroris seperti yang dituduhkan?, apakah ini bagian dari conten “roadmap” kontra-terorisme yang diemban oleh pemerintahan SBY melalui Menko Polhukamnya dan jajaran terkait?
Apa target sebenarnya dari proyek kontra-terorisme ini? Dan di wakili oleh pernyataan ustad Abu Bakar Ba’asyir sendiri, ini adalah pesanan dan rekayasa AS, apa benar seperti itu? Dan masih menyisakan banyak pertanyaan lainya, misal; kenapa juga momentumnya jelang Ramadlan?
Karena tak bisa dipungkiri sebagian umat Islam di Indonesia merasa ini langkah penindakan yang tidak sepantasnya karena ditafsiri secara sentimental sebagai “hadiah” ramadlan yang makin buat sesak nafas dari pemerintah melalui institusi Polri (Densus 88)-nya untuk umat yang sudah kelewat megap-megap dililit masalah. Atau sebagai pengalihan isu untuk menutupi perihal yang sangat serius dan penting dalam kontek urusan kenegaran?
Rasanya perihal diatas perlu tafsiran sekalipun tidak bisa memuaskan, karena masing-masing memiliki sudut pandang yang beragam, tapi kita akan merasa seperti “setan bisu” jika tidak katakan apa yang kita dengar dan lihat dari bayang-bayang “konspirasi” yang sedang mencengkram Islam dan umat ini dengan apa adanya.
Pertama
Polri melalui Kabakreskrim Mabes Komjen Pol Ito Sumardi mengungkapkan Amir Jama’ah Anshorut Tauhid (JAT) Ustad Abu Bakar Ba’asyir terkait dengan banyak gerakan terorisme. Polri sudah lama mengendusnya. "Jadi (Ba’asyir terlibat) banyak gerakan lain yang sudah lama.
Dan kita sudah lama menyelidiki, tentunya Polri tidak sembarangan saja mengambil orang," Bahkan di sinyalir ustad Abu Bakar Ba’asyir tak hanya terlibat dengan jaringan terorisme di Aceh saja (detik.com,9/8).
Menko Polhukam Djoko Suyanto juga menegaskan; Polri tak gegabah menangkap Abu Bakar Ba`syir. "Polri tentu sudah memiliki bukti-bukti kuat terkait jaringan terorisme itu, sehingga akhirnya Ustad Abu Bakar Ba`asyir ditangkap," .(Liputan6.com,9/8).
Dan yang penting diketahui oleh khalayak, presiden SBY sudah mengetahui perihal penangkapan ini melalui laporan Kapolri, seperti yang disampaikan Juru Bicara Presiden SBY, Julian A Pasha, dan sekaligus menepis atau lebih tepatnya “cuci tangan” dengan ungkapan; ini bukan merupakan intruksi dari SBY (republika.co.id, 9/8).
Penangkapan ustad ABB juga menggenapi sejumlah orang (diduga teroris) yang ditangkap oleh Den88 sebelumnya. Dari rentang waktu April hingga Mei 2010, Polri telah menetapkan 102 tersangka kasus terorisme. Sedikitnya 66 tersangka telah ditahan dan segera akan disidangkan dengan 33 berkas yang siap, seperti yang di akui pihak polri melalui Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Edward Aritonang dalam jumpa pers di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Senin (9/8/).
Ustad ABB sebelumnya masuk dalam penjara dengan tuduhan yang sama seperti saat ini, dan kemudian bebas setelah pengadilan memberikan amar putusan ustad ABB tidak terkait atau tidak terbukti dengan apa yang dituduhkan.
Hampir semua aktifis sadar, sekalipun ustad Abu Bakar Ba’asyir bebas tapi dilapangan tidak pernah lepas dari bayang-bayang (monitoring) dari pihak intelijen. Semua sepakterjang, dari aktifitas pengajian hingga urusan keluarga juga di bawah “satelit”.
Dan rasa-rasanya naif sekali jika kemudian hal tersebut tidak disadari ustad Abu Bakar Ba’asyir, dan melahirkan sikap “waspada” serta tidak terjebak kepada seluruh bentuk aktifitas fisik yang dikemudian hari begitu mudahnya dipolitisir sebagai bagian dari aksi “terorisme”.
Ketika khalayak dalam berbagai kesempatan dakwah mendapati pandangan ustad ABB tidak seperti yang dituduhkan pihak aparat Polri, karena ustad Abu Bakar Ba’asyir menolak segala bentuk terorisme dan aktifitas kekerasan lainya. Kemudian saat ini seolah menjadi “blunder”, ketika Densus 88 kembali menangkap ustad Abu Bakar Ba’asyir dan alasan utama dicurigai terlibat kelompok teroris Aceh dan ditambah dengan argumen lama bahwa ustad Abu Bakar Ba’asyir juga terkait jaringan teroris lainya.
Bisa jadi polisi punya bukti akurat tentang aktifitas ustad Abu Bakar Ba’asyir terkait kelompok Aceh, dalam sebuah rekaman video ustad Abu Bakar Ba’asyir membuka dan memberikan wejangan pada sesi latihan tersebut. Dan dikembangkan lebih jauh, juga terlibat dalam backup keuangan untuk agenda tersebut juga menggunakan jejaring langsung atau tidak langsung (orang sekeliling ustad Abu Bakar Ba’asyir).
Dari sini kita coba memberi tafsiran; pertama, ustad Abu Bakar Ba’asyir sepenuh hati berketetapan tindakan-tindakan pengeboman dan semacamnya yang akhirnya dilabeli dengan aksi “terorisme” bukan jalan perjuangan yang benar.
Dan meninggalkan segala bentuk ke-askaran dan beliau menolak terorisme, namun pada level ini masih meniscayakan ada skenario “operasi intelijen” untuk membuat jebakan/kubangan yang menyeret ustad Abu Bakar Ba’asyir agar bisa kembali di kaitkan dengan aksi-aksi terorisme.
Misalkan, dibukanya posko-posko jihad karena moment tertentu (misal:jihad untuk Gaza seperti pada kasus Aceh, kemudian masuknya Sofyan Tsauri yang di duga kuat agen kedalam barisan ini) kemudian mampu memobilisasi sekelompok orang untuk terlibat, selanjutnya di kumpulkan disatu tempat dan dididik kemampuan “militer”nya.
Dengan bahasa “I’dad al jihad” menarik ustad Abu Bakar Ba’asyir untuk merespon tanpa sadar baik atas permintaan dari PJ “askar”ini atau sebaliknya, sekalipun hanya membuka pelatihan tersebut atau memberi wejangan tentang fiqh jihad tanpa menyadari “hiden agenda” kedepanya oleh intelijen, peruntukannya apa dari latihan tersebut?.
Tapi jika itu terjadi, maka dari operasi intelijen ini akan mengahsilkan data melimpah untuk membuat diktum pengkaitan dengan aksi terorisme. Dalam perkara rancang bangun pengkaitan itu terkait erat dengan paradigma tafsiran pihak aparat (yang kesannya subyektif dan apriori).
Atau kemungkinan kedua (tapi penulis husnudzan ustad Abu Bakar Ba’asyir tidak pada posisi berikut); ustad Abu Bakar Ba’asyir masih menginjakkan kaki di dua pilihan (ijtihad), satu sisi menolak tindakan terorisme tapi disisi lain ustad Abu Bakar Ba’asyir masih mengadopsi pandangan pentingnya ada “sayap militer” untuk melakukan “I’dad” atau persiapan jihad dengan kepentingan-kepentingan yang masyru’ (di syariatkan).
Lagi-lagi, jika ini yang menjadi pilihan ustad Abu Bakar Ba’asyir maka inflitrasi oleh intelijen untuk melakukan radikalisasi atau mengkriminalisasi “sayap militer” dari gerakan dakwah ustad Abu Bakar Ba’asyir begitu mudah terjadi dan begitu mudahnya pihak aparat dengan proyek kontra-terorismenya memiliki pijakan untuk membuat dakwaan-dakwaan keterkaitan beliau dengan kelompok teroris.
Atau pada posisi yang ketiga, agak samar; ustad Abu Bakar Ba’asyir menolak terorisme dan tidak juga membangun ke-askaran, tapi beliau tidak bisa menolak permintaan sebagai “tokoh spiritual” dari kelompok jihadis untuk memberikan wejangan tentang berbagai macam jihad.
Maka dalam konteks ini ustad Abu Bakar Ba’asyir sama dengan poit pertama diatas. Namun yang terpenting adalah masalah “tafsiran” aparat terhadap bukti atau data. Seorang memberi tausiyah bab jihad tidak otomatis dia bisa dikatakan dia adalah pelaku jihadnya, dalam kontek ini ustad Abu Bakar Ba’asyir jelas bukan pelaku jihad (al qithal). Bisa juga tausiyah seluk beluk jihad yang mulia ustad Abu Bakar Ba’asyir sampaikan, tapi diluar sepengetahuan ustad Abu Bakar Ba’asyir ada inflitrasi dengan target dan agenda bias.
Maka kembali, yang menjadi titik krusialnya adalah seperti apa paradigma dan tafsiran aparat terhadap bukti atau data (jika ada). Kecuali dalam data video atau bukti semisal secara eksplisit, akurat dan valid ada statemen perintah dari ustad Abu Bakar Ba’asyir terhadap seorang atau sekelompok orang untuk melakukan tindakan yang di klaim “terorisme” (misal: pengeboman dengan obyek random tidak lagi memperhatikan apakah itu medan jihad atau tidak dan bukan perintah yang multitafsir lagi) oleh aparat.
Berbeda halnya dengan kesaksian dari orang yang ditangkap, karena ini sarat “subhat”, BAP bisa dibuat dibawah tekanan dan siksaan yang keji.Jika begitu adanya sikap ustad ABB, maka tidak lagi ada blunder dan umat bisa menilai dengan Iman dan Islamnya.
Tentang paradigma aparat perlu dikritisi, karena sejak berangkat mendefiniskan terorisme saja tidak ada kata sepakat alias “no global consensus”, yang saat ini pemaknaan (definisi)nya tergantung dan sarat kepentingan politik penguasa adidaya dan antek-anteknya.
Misal; orang-orang HAMAS yang membela diri dari penjajahan Israil di sebut “teroris dan ekstrimis”, sementara Israil sendiri bahkan Amerika yang meluluh lantahkan negeri Islam seperti Irak, Afghanistan dan lainya tidak berlaku status dan julukan ini, padahal mereka adalah “the real terrorism”.
Maka jawaban dari soal pertama, apakah ustad ABB terlibat? Waktu jualah yang akan membuktikan (dalam kontek dimensi dunia kasunyatan peradilan yang fair akan membuktikan).Yang haq tentu Allah SWT Sang Pencipta hamba (seperti SBY, Kapolri, Menko Polhukam, prajurit Densus 88 semua, bahkan ustad Abu Bakar Ba’asyir dan tidak lupa penulis sendiri) yang Paling dan Maha Tahu dari seluruh perkara yang tersembunyi dan terang, yang konspiratif hingga yang fisikal teraba.
Kedua
Berikutnya; untuk menjawab posisi AS dan seperti apa “roadmap” kontra terorisme yang akan terus dijalankan di Indonesia, perlu kiranya membuka kembali file-file lama dan baru terkait isu terorisme ini. Dan konteks kepentingan politik global AS terhadap dunia Islam tidak bisa diingkari, pasca peristiwa 911/2001 dengan bendera “warr on terrorism” AS menghancurkan Afghanistan, yang berikutnya adalah Iraq.
Dunia sampai hari ini belum mendapatkan konfirmasi akurat atas alasan yang selama ini di propagandakan oleh AS untuk menyerang Afghan dan Iraq. Keterkaitan 911/2001 dengan pemerintahan Thaliban di Afghanistan adalah dusta, kepemilikan senjata biologis Iraq di bawah rezim Sadam juga lebih dusta lagi dan semua sarat dengan rekayasa AS.
Dari sisi ini menunjukkan motif hakiki yang dimiliki AS atas dunia Islam, yaitu meneguhkan imperialisme dan mengubur seluruh potensi yang bisa mengeliminasi hegemoninya. Pasca runtuhnya Soviet dengan komunisnya, bagi AS Islam menjadi ancaman berikutnya. Maka strategi lama “hard power” dibawah bendera “warr on terrorism” melegitimasi tindakan brutal AS di Afghan, Iraq dan dunia Islam lainya.
Sikap permusuhan AS terhadap dunia Islam dengan bendera perang melawan terorisme tidak hanya pasca 911/2001, tapi sudah dirancang jauh hari. Meminjam analisis Noam Chomsky, pakar linguistik dari Massachussetts Institute of Technology, AS, bahwa kebijakan Amerika dan Barat terhadap Dunia Islam dengan isu "terorisme" ini sudah terasa begitu kuat sejak awal 1990–an. Tahun 1991, ia menulis buku "Pirates and Emperor: International Terrorism in The Real World."
Dalam artikelnya (The Jakarta Post 3/8/ 1993), dan dimuat ulang terjemahannya oleh harian Republika dengan judul "Amerika Memanfaatkan Terorisme Sebagai Instrumen Kebijakan", ia menulis bahwa Amerika memanfaatkan terorisme sebagai instrumen kebijakan standar untuk memukul atau menindas lawan-lawannya dari kalangan Islam.
Dalam konteks lokal, Indonesia telah masuk perangkap proyek global AS ini sejak peristiwa Bom Bali-1. Kooptasi kepentingan AS untuk wilayah Indonesia di kukuhkan dengan di bentuknya satuan khusus anti teror dibawah institusi Polri yaitu Densus 88 dengan komandan pertamanya Gorys Mere setelah sebelumnya dididik di AS pasca Bom Bali-1.
Dan sekalipun posisinya sekarang di BNN, tapi dibanyak kasus kontra-terorisme dia turun kelapangan (seperti kasus teroris di Aceh, dll).Dari berbagai analisis dan fakta dilapangan, terlihat pemerintah mengabaikan sama sekali kemungkinan bahwa peristiwa Bom Bali-1 dan bom-bom berikutnya adalah produk “operasi intelijen” yang menunggangi para “jihadis” lokal dengan motif menjangkaukan perang melawan terorisme berjalan juga di Indonesia.
Bahkan lebih dari itu, kemudian berimbas juga penangkapan ustad Abu Bakar Ba’asyir yang akhirnya dibebaskan oleh pangadilan karena tidak terbukti terlibat. Begitu juga terjadi tekanan dari pemerintah Australia dan AS untuk menangkap ustad Abu Bakar Ba’asyir karena dia dianggap simbol dan ikon serta pimpinan puncak dari kelompok teroris.
Bahkan di kaitkan juga dengan kelompok al Qaidah terkait pembiayaan aktifitas gerakan jihadis ini.Disamping alasan mengada-ada lainya; ustad ABB ialah Amir Jama’ah Anshorut Tauhid (JAT) dan pendiri Pondok pesantren Al Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah.
Mantan aktivis mahasiswa yang dikenal gencar berceramah dengan bahas yang lugas dan blak-blakan yang oleh sebagian kalangan, terutama pemerintah dinilai keras. Ceramah, khotbah, dan gerakannya yang selalu ingin menegakkan syariat Islam di Indonesia membuat Amerika Serikat geram dan ingin pemerintah Indonesia menangkap dan memenjarakannya.
Baasyir dikenal sebagai agamawan yang ramah namun dianggap radikal dan sangat anti Amerika. Isi ceramah dan khotbah ustad ABB syariat (hukum Islam) dinilai sangat keras, meski ustad sepuh itu menegaskan dia menentang kekerasan. Sebagai ustad, dia menegaskan bahwa tugasnyalah untuk menyerukan atau mengajak-ajak kaum muslim untuk kembali kepada syariat Islam.
Pemerintah Indonesia juga menutup mata, bahwa proyek kontra terorisme motifnya adalah kepentingan politik global AS atas dunia Islam. Dan munculnya perlawanan sporadis dalam konteks lokal juga sangat potensial terjadi dengan berbagai macam bentuknya, seperti dengan pengeboman.
Sekalipun akhirnya sikap atau respon sebagian orang dengan melakukan tindakan “teror bom” justru menjadi medium efektif untuk melahirkan nilai kontra-produktif terhadap Islam dan kaum muslimin, karena menjadi basis aktifitas yang sangat rentan dari penunggangan operasi intelijen untuk membuat selaras dan legitimasi proyek AS bisa berjalan dan memaksa pemerintah Indonesia terlibat aktif dalam proyek perang melawan terorisme, tanpa lagi melihat akar persoalan yang sesungguhnya.
Posisi Indonesia dibawah tekanan kepentingan AS makin tampak pada komitmen pemerintah Indonesia di bawah presiden SBY untuk membangun kemitraan strategis dengan AS dalam rangka perang melawan terorisme. Kemudian di kukuhkan menjadi salah satu prioritas 100 hari program kerja pemerintahan SBY.
Dalam Nasional Summit di Jakarta pada akhir tahun 2009, pemerintah melalui Kementerian Polhukam dalam seratus hari berusaha merumuskan blue print proyek kontra terorisme. Bahkan sebelumnya juga menjadi substansi pembicaraan SBY-Obama ketika bersua di Singapura, bahwa pemerintah Indonesia punya komitmen tinggi menyangkut isu perang melawan terorisme.
Dalam tataran lokal blue print telah disiapkan yang berisi rencana strategis (roadmap/desain) baik dari hulu sampai hilir. Atau lebih tegas, tujuan akhir dari kontra terorisme itu sebenarnya apa? telah di rumuskan.
Dan paling baru adalah di akhir bulan Juli 2010,tepatnya tanggal 27/8 sebuah perhelatan cukup penting di gelar di Jakarta. Simposium Nasional “Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme, di Le Meridien Hotel, 27-28 Juli 2010.Sebuah agenda hasil kerjasama Menkopulhukam, Polri, UIN Jakarta, UI, Lazuardi Birru, dan LSI.
Ini adalah tahapan demi tahap substansi “road map” proyek kontra terorisme oleh pemerintah di implementasikan. Simposium ini hanya sebagian langkah saja (legal opinion dan legitimasi), terkait lahirnya lembaga baru yang di namakan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) melalui Perpres (peraturan Presiden) nomer 46 tahun 2010 yang di tanda tangani presiden SBY pada tanggal 16 Juli 2010 di Jakarta.
Sekalipun undang-undang yang berkaitan dengan aspek keamanan belum diundangkan, karena RUU Intelijen yang baru masuk program legislasi nasional DPR tahun 2010, dengan peraturan presiden ini bisa dianggap cukup sebagai payung hukum dalam proyek kontra-terorisme.Langkah pemerintah melalui kementerian Polhukam, Polri dan instansi terkait ini menunjukkan keseriusan pemerintahan SBY pada proyek kontra-terorisme.
Dengan lahirnya BNPT menjadi indikasi jelas, proyek kontra-terorisme adalah proyek “longtime” dengan target-target tertentu dan pemerintah akan secara kontinyu dan simultan serta melibatkan banyak “energi/element/unsur” menjalankan “road map” yang sudah diformulasikan.
Akhirnya menjadi sebuah fakta bahwa Indonesia dengan rezimnya saat ini secara establis telah memposisikan sebagai sub–ordinat kepentingan proyek global “warr on terorism” yang digelorakan oleh AS dan sekutunya.Dan target-target proyek di level lokal adalah turunan (break down) dari target-target proyek global.
Pelembagaan agenda kontra-terorisme (dengan lahirnya BNPT) menunjukkan ini adalah “proyek longtime”, dengan ditangkapnya ustad Abu Bakar Ba’asyir apakah akan mengakhiri drama “terorisme” selama ini? Tentu tidak, karena cerita bisa saja dibuat dari sepihak (yang memiliki kepentingan terhadap proyek kontr-terorisme ini) agar bagaimana caranya terus hidup panjang, baik dengan memastikan suksesnya operasi intelijen “the mind control” melalui media terhadap isi otak umat Islam atau “image building” tokoh-tokoh baru untuk tampil di sekuel drama “terorisme” berikutnya.
Dari sini tampak jelas AS dan sekutunya punya kepentingan, ada kemungkinan ditangkapnya balik ustad ABB adalah dibukanya kembali kerjasama militer RI-AS baru-baru ini, alias ini menjadi kompensasi sekaligus melanggengkan isu terorisme dan efek domino lainya dalam prespektif kepentingan politik dan ekonomi AS.Inilah tafsiran pokok dari pernyataan ustad ABB; ini adalah pesanan dan rekayasa AS!
Target dibalik proyek Kontra-Terorisme
Dari “roadmap” kontra-terorisme cukup jelas; tidak hanya membicarakan penindakan atau pencegahan terhadap pelaku aksi terorisme.Tapi ada tema penting yakni “de-radikalisasi”,sebuah langkah menggeser atau lebih tepatnya menjangkaukan proyek ini masuk ke spektrum yang lebih luas.
Masuk pada wilayah ideologi dan pemikiran. Karena paradigma yang dibangun adalah; pemikiran dan ideologi yang dianggap radikal dan fundamentalis-lah yang menjadi biang kerok munculnya semua kekerasan dan tindakan terorisme. Maka perlu upaya de-radikalisasi secara masif dilakukan dan melibatkan semua “power” atau instrumen yang dimiliki oleh penguasa.
Ini sikap apriori dan dipaksakan, karena mengabaikan sama sekali variabel-variabel yang faktual: kemiskinan; kebodohan; kedzaliman penguasa dalam aspek ekonomi, politik dan hukum;dan kedzaliman global yang dilakukan AS dan sekutunya.
Namun sebuah narasi telah dibangun sedemikian rupa; bahwa tentang adanya pergeseran sasaran para teroris bukan lagi asing (AS dan sekutunya) tapi simbol-simbol dalam negeri (Presiden RI dll), berikutnya; motif tidak lagi sebagai respon atas penjajahan dan kedzaliman global yang diciptakan AS di dunia Islam tapi sudah bergeser ke arah pembentukan “Negara Islam (Islamic State)”, dan terakhir adalah vonis bahwa demokrasi menjadi pilihan final bagi rakyat Indonesia dan menegasikan perihal “negara Islam” sebagai hal yang sudah menjadi bangkai sejarah masa lalu Indonesia.
Artinya; selama ini peristiwa penangkapan dan eksekusi mati terhadap orang-orang yang di duga teroris adalah lebih sebagai pemanasan (dijadikan martil dan target antara) untuk mengokohkan istilah “teroris” sebagai ancaman serius terhadap NKRI.
Dan kemudian mulai lebih fokus lagi, yaitu masuk di ranah motif maka disinilah terlihat muncul upaya pengkaitan antara aksi terorisme dengan isu pendirian negara Islam/daulah Islamiyah/Khilafah Islamiyah.Dan cerita aksi terorisme di Indonesia adalah perlawanan terhadap AS dan seluruh instrumen kepentingannya, menjadi bergeser ke cerita sebagai ancaman terhadap simbol lokal “status quo” dan upaya meruntuhkan kesepakatan hasil reformasi yaitu demokrasi.
Berikutnya; kontra-terorisme disamping mengemban kepentingan global AS atas dunia Islam, akan lebih fokus lagi adalah mengubur seluruh potensi yang bisa meruntuhkan sistem demokrasi-sekuler yang tegak di Indonesia, dan dua kepentingan (target) tersebut saling terkait atau korelatif. Maka ketika perang melawan terorisme di hadapkan kepada ancaman secara fisik, pemerintah dengan dukungan AS melalui Densus 88 Polri memiliki kemampuan yang bisa dengan mudah membasmi.
Namun menjadi kesulitan besar jika yang dihadapi adalah ancaman ideologi, atau pemikiran-pemikiran yang dianggap radikal dan fundamental tapi steril dari aksi-aksi fisik kekerasan. Dan ancaman ideologi ini yang dipandang sebagai potensi yang akan mengubur dan meruntuhkan sistem demokrasi-sekuler yang tegak hari ini.
Maka, dari sini jelas bahwa yang di anggap ancaman dalam proyek perang melawan terorisme adalah kelompok atau individu yang melakukan tindakan fisik pengeboman dan semisalnya, tapi juga setiap individu atau kelompok yang berusaha memperjuangkan Islam ideologi tegak dimuka bumi baik dalam konteks lokal maupun global.
Akhirnya bukan mustahil, setelah selesainya semua payung undang-undang yang terkait dengan keamanan negara akan melegitimasi langkah kontra terorisme dalam bentuk penindakan dari aksi fisik akan bergeser dan diarahkan kepada penindakan atas kelompok-kelompok yang mengusung pemikiran atau ideologi yang dianggap membahayakan empat pilar bangsa yaitu Pancasila, UUD 1945, Bineka Tunggal Ika (kebinekaan), dan NKRI. Sekalipun ini membutuhkan waktu yang panjang dan variabel-variabel pendukung lainya.
Karenanya dalam “roadmap” kontra-terorisme mengharuskan strategi-strategi jitu dirancang sedemikian rupa yang menitik beratkan kepada, pertama: penguatan legal frame, yakni di usahakan lahirnya UU yang bisa memberikan payung dan legitimasi tindakan keras oleh pemerintah melalui Polri atau pihak terkait terhadap kelompok yang mengusung ideologi yang dianggap membahayakan empat pilar bangsa.
Dan ini tercium dari empat draft RUU yang disodorkan kementerian Polhukam, semisal RUU intelijen yang diusulkan Dephan dan sudah masuk prioritas program legislasi nasional 2010 dan tiga RUU kemanan negara lainya sudah di antrikan. Kedua: dengan langkah soft power, secara rapi ada upaya kuat mengkooptasi media masa untuk menjadi instrumen propaganda yang sangat efektif untuk mengambarkan bahayanya kelompok yang mengusung Islam sebagai ideologi dan implikasi sosial politik yang akan di timbulkan.
Upaya pencitraan negatif akan di lakukan secara kontinyu dan simultan melalui media masa yang dikendalikan penguasa.Ini bisa terlihat bagaimana peran media elektronik seperti TV One dan Metro TV dalam isu terorisme di Indonesia.Di samping itu juga, ada indikasi menjadikan instrumen goverment dan NGO melalui individu-individu didalamnya untuk menjadi corong secara aktif menyuarakan bahayanya Islam Ideologi, ini terlihat proyek-proyek pemikiran dan dakwah yang dikembangkan melalui Depag dan para pengasong Liberalisme dari berbagai jaringan kelompok liberal, pengusung HAM dan demokrasi.
Yang tidak ketinggalan adalah adanya rekayasa menjadikan ormas-oramas tertentu sebagai “stempel” dengan mengusung isu atau ide yang bisa dihadapkan secara diametrikal terhadap kelompok-kelompok yang mengusung Islam ideologi.
Ini terlihat, statemen dari orang-orang tertentu yang dianggap representasi dari ormas tertentu menyatakan NKRI final dan akan membela sampai titik darah penghabisan jika ada upaya orang atau kelompok yang hendak meruntuhkan.Tentu bisa dipahami, jika langkah soft power ini berhasil maka akan melahirkan sikon kondusif pemerintah bersikap otoriter dan represif atas nama UU dan klaim aspirasi rakyat Indonesia.
Catatan Akhir
Masih banyak aspek yang belum terungkap dari tulisan ini, namun harus berjeda juga dengan catatan akhir: Umat harus waspada setiap monsterisasi (hantu) tentang negara Islam.
Karena targetnya membuat umat mudah resisten terhadap gerakan yang mengusung syariat Islam, karena dengan mudah umat akan mengkaitkan dengan istilah dan kelompok teroris katika penguasa melalui instrumen terkait proyek kontra terorisme mampu meyakinkan umat, bahwa tentang motif terorisme adalah mendirikan daulah Islam (negara Islam).
Begitu juga tentang isu NKRI final dan Demokrasi pilihan rakyat Indonesia pasca reformasi, akan di jadikan sebagai parameter untuk memojokkan gerakan islam yang bercita-cita menyelamatkan Indonesia dengan syariat. Kepada Allah SWT semata kita bersandar dan bergantung, Sudah hamba sampaikan ya Allah, maka saksikanlah..
Wallahu a’lam bisshowab. Harits Abu Ulya (Ketua Lajnah Siyasiah DPP-HTI)