Membeli Politisi melalui Korupsi dan Lobi?

Kualitas kenegarawanan tidak bisa disejajarkan dengan seorang politikus partai , apalagi “pegawai” partai. Harus ada pelibatan nilai-nilai normatif dalam diri seorang negarawan, yang tidak bisa dengan mudah dimiliki oleh seorang politisi. Dalam terang demokrasi, siapa pun warga negara punya hak menjadi politisi, namun, tidak semua dari mereka mampu mengemban “amanat” kenegarawanan. Kalau sudah demikian, pastikan bahwa demokrasi tak lebih dari arena kontestasi kepentingan-kepentingan pragmatis belaka.
Dengan demikian, melembaganya jiwa kenegarawanan dari para pejabat pemerintah atau politisi dalam sistem politik Indonesia sejatinya bisa mengurangi potensi konflik kepentingan, yang bisa saja menyulut terjadinya konflik komunal. Mekanisme dalam mengawal suksesi kekuasaan bisa disiasati melalui beroperasinya kesadaran hukum yang berkeadaban dalah ranah praksis. Artinya, mereka yang terpolarisasi harus legowo meneduhkan ruang kesadaran bernegara di bawah mekanisme hukum yang sama.

Atas dasar itulah, potensi untuk terjadinya praktik korupsi, entah dalam selubung donasi atau penggalangan dana, suap-menyuap bisa dikurangi. Jika tidak, maka suksesi pemerintahan, secara langsung atau tidak langsung, akan memaksa politisi mencari sumber-sumber pendanaan dengan segala cara demi memuluskan jalannya mencapai kekuasaan. Melalui kado “proyek pascakemenangan”, politisi bisa saja menggadaikan dan menanggalkan identitas kenegarawanannya demi mengembalikan ongkos pilitik yang merek dapatkan.[GRI]

Sudarto Murtaufiq, peneliti senior Global Future Institute (GFI)