Membaca langkah Turki
Membaca langkah kebijakan yang diambil Turki di Suriah sebenarnya tidak rumit. Kita hanya perlu membaca rentetan kejadian-kejadian politik yang terjadi sebelumnya. Pertama, memanasnya ketegangan antara Turki dengan Amerika turut mendorong Erdogan untuk merapat ke kubu Rusia dan Iran. Sejak pekan kedua Oktober 2017, AS mulai menarik sejumlah diplomatnya dan membatasi visa kunjungan ke Turki.
Pada akhirnya, Turki pun mengambil langkah yang sama dengan membatasi warga negaranya yang hendak berkunjung ke Amerika. Hal ini dipicu oleh tertangkapnya warganegara Turki yang bekerja di konsulat AS di Istanbul. Diduga pria tersebut menjalin kontak dengan Fethullah Gulen, tokoh intelektual yang tinggal di AS, sekaligus sosok yang dituding pemerintahan Erdogan bertanggungjawab atas percobaan kudeta pada 2016 lalu.
Kedua, hampir bersamaan dengan selesainya tahap akhir perundingan Astana pada mid-September 2017, terjadilah referendum bangsa Kurdi. Kurdi, telah lama dijuluki sebagai nation without state. Bangsa Kurdi juga menyandang status stateless seperti Rohingya. Karenanya, referendum Kurdi mengancam batas-batas negara yang telah lama dibagi bangsa kolonial kepada Turki, Iran, Iraq dan Suriah.
Di persimpangan itulah, Erdogan akhirnya bertandang ke Teheran pada awal Oktober 2017 guna menemui pemimpin spiritual tertinggi kaum Syiah, Ali Khamene’i. Erdogan dan Khamene’i sepakat bekerjasama menolak referendum Kurdi dan mempertahankan dengan keras batas-batas perbatasan yang sudah ada, dengan kekuatan militer yang mereka miliki. Sebab itu, salah satu tujuan pengerahan pasukan Turki ke Suriah ialah demi pengamanan perbatasan dari serangan militan Kurdi di wilayah Afrin, Suriah.