Nah, di sini wayang sebagai analogi, isu Macron sebagai pintu pembuka. Geopolitik mensinyalir —di era Trump— ada upaya globalis menggeser “central of gravity“-nya ke Prancis karena kebijakan Trump membuatnya gerah. Mencoba manuver lewat isu Floyd pun gagal, AS kembali kondusif setelah satu minggu lebih marak di dera unjuk rasa dan amuk massa rasisme; bermanuver via pilpres pun —mendongkel Trump— tampaknya incumbent tidak terbendung. Donald Trump diprakirakan kuat bakal terpilih lagi.
Karenanya, Prancis terpilih sebagai “tempat baru” elit globalis akibat berbagai faktor, khususnya catatan kelam Charlie Hedbo yang kerap menyerang semua agama atas nama freedom of speech.
Sebagai langkah awal kepindahan, lumrah bila central of gravity baru harus diuji terlebih dahulu dengan menu clash of civilization atau benturan peradaban sebagaimana tesis Samuel Hungtinton: “Hadapkan Barat versus Islam”. Tetapi hasilnya justru out of control. Ternyata lepas kendali. Kenapa? Karena yang disentuh Macron bukannya oknum selaku perilaku yang seakan-akan cerminkan Islam sebagai institusi, namun disulut soal sentimen agama dan kultus yang hidup serta tumbuh subur di Dunia Timur. Macro salah bidik. Keliru sasaran. Gilirannya, Timur Tengah terbakar, Asia Tenggara bergolak, bahkan sekularisme Eropa pun tak mau terima ucapannya. Muncul solidaritas lintas benua, antar – negeri, dan religi berbaju boikot terhadap produk-produk Prancis.
Secara geospiritual, 2020 Masehi adalah api, sedang 1442 Hijriyah duduknya di angin. Maka akibat isu Prancis, “Api pun berkobar!”
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)