Memata-matai Buya Hamka

Dalam banyak babak sejarah kekuasaan Islam, sering kali yang menjadi ganjalan kelangsungan kekuasaan itu malah dari internal umat Islam sendiri. Tepatnya dari lingkaran sekitar kekuasaan berada. Perebutan jabatan hingga akhirnya pelbagai daulah dalam bentangan sejarah kekuasaan Islam beruntuhan satu per satu, bukanlah karena pihak di luar Islam lebih kuat.

Keretakan yang akut selalu hadir di tengah Muslimin sebelum serangan pihak pembenci Islam tepat menghunjam sasaran. Lihat dalam episode jatuhnya Baghdad pada akhir Februari 1258, Khalifah Abbasiyah melengahkan potensi pengkhianatan dari dalam istana sendiri, hingga tragedi dan airmata tak terlukiskan dalam kata yang hadir di catatan sejarah.

Dalam ulasan di karya Dr. Ali Muhammad ash-Shallabi (2016) Sejarah Daulah Umawiyah & Abbasiyah, jatuhnya kedua kekuasaan yang pernah mengharumkan—sekaligus menggetarkan kawan dan lawan—ini akibat perseteruan internal yang melahirkan banyak intrik dan fitnah. Setali juga yang terjadi di Andalusia; lagi-lagi akibat tidak loyalnya sebagian Muslimin pada makna ukhuwah dan memilih saling menikam dengan menghalalkan berbagai cara.

Pengkhianatan bisa dilakukan oleh siapa saja. Dakwah roboh, fondasi persatuan Muslimin berantakan, disebabkan adanya anasir umat yang bermain dengan selera nafsunya. Belum lagi timbulnya prasangka terhadap kelompok asal si oknum. Seakan-akan tindakannya mewakili aspirasi ataupun sikap kelompok tersebut. Kita juga tak tahu apakah oknum mahasiswa organisasi mahasiswa Islam itu berbuat seperti itu atas dasar bagaimana.

Yang jelas, praktik menyusun “bukti” yang tak lebih fitnah belaka merupakan satu kejahatan tersendiri dalam agama ini. Satu fitnah yang merongrong hingga mempermalukan pewaris Nabi, dan umat pun terugikan.

Mereka yang menelikung dan tak mau tersaingi oleh siapa saja yang dianggap lawan, tidaklah senyap kehadirannya pada zaman sekarang. Mengartikan perbedaan penafsiran dalam taktik politik untuk selanjutnya menjerat mereka melalui delik aduan yang berkubang fitnah keji.

Dalam kasus Buya Hamka, fitnah dari bukti si oknum mahasiswa Islam mendasari tuduhan penulis Sejarah Umat Islam itu sebagai pengkhianat negara dan aktor subversif pembunuhan Presiden dan Menteri Agama! Lamat-lamat, hari ini tudingan melawan ideologi Pancasila dan merobek persatuan juga bertebaran untuk disematkan kepada dahi para dai-dai yang sejatinya mempertahankan persatuan dan kesatuan Republik ini.

Atas nama paling Pancasilais dan mencintai negara, ada saja para oknum yang merasa berhak melakukan tindakan biadab dengan memfitnah pihak lain. Padahal, beberan data versi mereka sebenarnya hanya penafsiran ngawur yang mudah dikoreksi. Sayangnya, data yang meruntuhkan makna persatuan itu malah terkesan dibiarkan aparat penegak hukum; setidaknya pada beberapa kasus yang menyeruak ke publik.(RPB)