Memata-matai Buya Hamka

Hamka tampaknya tidak menyangka lebih jauh mahasiswa yang juga oknum aktivis kelompok “sebelah” sengaja hadir bukan semata-mata mendengarkan paparan keilmuannya. Kelak setelah  ditahan pada 27 Januari 1964 kemudian pada hari-hari berikutnya diinterogasi, ia mampu mengaitkan benang merah pertanyaan aparat kepolisian dengan keberadaan sang oknum mahasiswa mata-mata.

Ketika di ruang interogasi, Hamka ditanya beberapa kali, “Apa kuliah yang diberikannya sewaktu di IAIN Ciputat?” Jawaban Hamka atas pertanyaan ini bagi aparat penyelidik memang begitu amat sangat penting.

Rupa-rupanya nasihat-nasihat Hamka di kelas itu dipenggal dan diartikan amat berbeda oleh oknum mahasiswa mata-mata. “Langkah-langkah yang ditempuh oleh angkatan terdahulu sudah gagal. Abdulkahhar Muzakkar dan Daud Beureueh, DI dan TII, semuanya telah gagal. Oleh sebab itu, hendaklah kamu mahasiswa menempuh jalan dan cara yang baru, supaya jangan gagal sebagaimana mereka pula.”

Frasa “supaya jangan gagal sebagaimana mereka pula” diartikannya anjuran, bahkan provokasi, Hamka kepada mahasiswa untuk tidak boleh lagi gagal manakala melawan pemerintah, sebagaimana nama-nama atau gerakan yang disebutkan! Ini berkebalikan 180 derajat dengan maksud dan pesan Hamka kepada para mahasiswa di kelasnya. Apa boleh buat, laporan si oknum mahasiswa mata-mata tadi kadung dipercaya dan sepertinya dipaksakan harus benar untuk membuikan Hamka.

Agak payahkah bagi para pembenci Hamka dalam mencari-cari kesalahan hingga harus menggunakan cara licik “menyuruh” oknum mahasiswa organisasi Islam? Cara-cara menjebak dengan tuduhan serampangan juga dialamatkan pada Hamka. Ketika berdakwah di Pontianak, Hamka dituding berpidato mendukung Malaysia dan menentang ajakan Sukarno. Kenyataannya, Hamka malah menganjurkan sebaliknya: ajakan membela tanah air tercinta, Indonesia.

Keberadaan personal atau beberapa orang, termasuk hingga pengurus teras, kelompok Islam yang tidak menyukai personal ataupun kelompok lain (seperti kasus fitnah pada Buya Hamka di atas) akan terbuka berulang. Persatuan dan ukhuwah antarkelompok Islam sering dikumandangkan. Berkali-kali pula duduk semeja para pimpinan kelompok Islam dilakukan.

Sayangnya, antara yang di lisan dan ditulis media terkadang berbeda kontras dengan kenyataan di balik layar. Masih untung bila yang berkhianat hanya oknum bawahan seperti di kasus mendera Buya Hamka. Bagaimana bila yang terlibat itu malah sistematis dimulai dari elit kelompok? Semoga saja kasus seperti ini tidak terjadi di tubuh kelompok atau organisasi dakwah tanah air.