Memata-matai Buya Hamka

Masyumi yang dibubarkan Sukarno pada 17 Agustus 1960, bagaimanapun juga, masih dianggap jadi ancaman laten, terlebih anggota dan simpatisannya bertebaran di pelbagai tempat strategis seperti Muhammadiyah. Kondisi berbeda dengan NU, yang jauh-jauh hari membuat ijtihad politik untuk merapat dan mendukung Sukarno. Konsekuensi sebagai pendukung penguasa adalah kans diperolehnya keuntungan, yang bisa jadi di antaranya cepatnya pemberian gelar profesor sebagaimana disebutkan Hamka.

Masih di ruang perkuliahan, Hamka menyelipkan nasihat kepada para mahasiswa itu selaku generasi muda Islam. Nasihatnya bukan sebentuk kelakar, melainkan pesan penting dari generasi lama bagi para juniornya.

“Langkah-langkah yang ditempuh oleh angkatan terdahulu sudah gagal. Abdul Kahar Muzakkar dan Daud Beureueh, DI dan TII, semuanya telah gagal,” ujar Hamka. “Oleh sebab itu,” lanjut Hamka menerangkan, “hendaklah kamu mahasiswa menempuh jalan dan cara yang baru, supaya jangan gagal sebagaimana mereka pula.”

Hamka memuji langkah yang diambil HMI di bawah kepemimpinan Sulastomo untuk mendukung program-program pemerintah. Demikian pula, tak lupa organisasinya di bawah ketua umum K.H. Ahmad Badawi disebut-sebut Hamka sebagai teladan karena konsisten menjalankan hasil putusan Muktamar ke-35 pada 1962 tentang Kepribadian Muhammadiyah.

Butir Kepribadian bagi sifat amal usaha Muhammadiyah di antaranya adalah “Bekerja sama dengan segala golongan serta membantu Pemerintah dalam membangun Negara untuk mencapai Masyarakat yang Adil dan Makmur, yang diridhai Allah.”

Maksud ucapan Hamka sebenarnya cukup jelas. “Dekati dan bekerja samalah dengan pemerintah, dan jangan menentang pemerintah,” jelasnya bercerita secara tertulis kepada anak-anaknya, yang kelak dibukukan dalam Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka (1981). Hamka mengaku, dua pentolan HMI—yakni Sulastomo dan Mar’ie Muhammad—dinasihatinya pesan serupa. Persis, tanpa membubuhkan misi jahat apa pun. Sama halnya ketika Hamka memberikan pesan yang sama dalam pengajian di hadapan jamaah Masjid Al Azhar Jakarta.

Usai Hamka memberikan perkuliahan, salah seorang mahasiswa di kelasnya buru-buru keluar. Mahasiswa bergegas pulang jamak saja; bukan hal yang patut dicurigai. Wajar bila Hamka tak begitu terkesan atau merasa perlu untuk berprasangka.

Bahkan tatkala seorang mahasiswa yang masih berada di kelas membisiki Hamka untuk berwaspada, ia bergeming. Oknum yang pulang pertama tadi, kata si mahasiswa, adalah anggota sebuah organisasi kemahasiswaan Islam yang “induknya” pendukung NASAKOM.