Melawan Mural, Melawan Moral, Kesatuan Pro-Oligarki Tak Akan Membela Rakyat

Eramuslim.com – DI NEGARA  yang demokrasinya waras & civilized, mural diapresiasi. Di negeri bekas penjajah, seperti Belanda, sajak “Aku”, Chairil Anwar dimuralkan di Leiden, bersama  110 sajak penyair dunia yang ditulis dalam berbagai bahasa.

Manusia primitif mengenal mural yang disebut rock art sebagai ekspresi identifikasi mereka terhadap benda-benda dan hewan, yang ditorehkan di dinding-dinding gua.

Affandi maestro pelukis Indonesia juga terkenal dengan muralnya “Boeng, Ajo Boeng”, yang dibikin tahun ‘45, untuk menyemangati pemuda melawan penjajah.

Tan Malaka meminta seniman membuat mural & graffiti berbahasa Inggris untuk menarik perhatian pers dunia waktu Belanda, 1946, mau balik lagi, dan Van Mook bikin propaganda internasional Indonesia belum merdeka.

Mengkritik dengan mural dan graffiti adalah hal biasa dalam alam demokrasi. Apalagi kata Sukarno orang Indonesia artistenvolk (berjiwa artis) & gevoels-mens (manusia seni) yang pintar mengekspresikan rasa.

Tapi hari ini mural dimusuhi, dianggap momok menakutkan oleh rezim, sehingga terkesan tiada yang lebih gawat untuk diurus selain menghapus dan menangkapi para seniman pembuat mural.