Mayor Agus Yudhoyono Wapres, Pantaskah?

Pemikir di sekitar Anies dan koalisinya saat ini terjebak dalam kekakuan analisis pola lama. Padahal rakyat dan peradaban saat ini berubah secara eksponensial. Kenapa? Itu adalah fenomena paska pandemi COVID19, sebuah kombinasi kehidupan baru dengan karakter, solidaritas, sensitivitas dan digital lifestyle. Pemikiran kaum elit lama selalu bias struktural, padahal rakyat telah berkembang anti struktur dan anti kemapanan. Padahal rakyat tidak terlalu kaku dengan ikatan komunal lama. Apalagi kaum milenial.

Tentu saja figur dan basis dukungan tradisional ada. Misalnya Aher di masyarakat Islam dan Sunda, maupun AHY di masyarakat Jawa dan kalangan militer. Ini tentu saja perlu diperdalam hitungan optimalisasi untuk memenangkan koalisi dan keadilan coattail effect bagi kemenangan partai. Di atas semua ini harusnya koalisi memikirkan koalisi dalam sebuah sinergitas yang utuh, bukan parsial.

Sebuah pikiran resultante, misalnya dalam ilmu fisika, bukan sekedar penjumlahan biasa, namun mempunyai efek gabungan yang berlalu lipat, yang mampu menguntungkan semuanya. Di sini seharusnya kelompok Anies dan parpolĀ  memanggil ahli matematika ITB atau lainnya menghitung dan membuat model dari sebuah koalisi parpol (Nasdem, PD dan PKS) dan efek resultantenya itu. Jangan cuma percaya lembaga survei.

Sebuah fenomena terbaru adalah pertemuan puluhan ulama besar NU di Sragen, yang diberitakan kompastv, “Risalah Sragen, Saat Puluhan Kiai Jawa Tengah dan Jawa Timur Dukung Anies Baswedan Capres 2024”, 25/2/23, mereka mendoakan Anies Baswedan untuk capres, sambil menitipkan nama-nama cawapres kalangan NU. Dari kalangan NU tentu saja muncul tokoh kaliber NU seperti Khofifah, Muhaimin Iskandar dll. Namun, menariknya mereka memasukkan nama Agus Yudhoyono sebagai tokoh di luar NU. Ini menunjukkan daya jangkau Agus Yudhoyono melampaui perkiraan tradisional.

Dukungan ulama NU ini, dan juga dukungan terbuka mantan Ketua Umum NU, Said Aqil Siradj, secara terbuka diberbagai media, terhadap Anies Baswedan, juga sebuah fenomena melampaui kajian statis atas dukungan tradisional.

Kombinasi analisa baru antara pola lama berbasis dukungan tradisional, ditambahkan dengan masyarakat yang berubah serta janji perubahan dari Anies dan wakilnya memberi kita suatu hipotesis bahwa Agus Yudhoyono, khususnya, maupun Aher dan Khofifah dapat meningkatkan elektabilitas Anies dan pasangannya. Seberapa besar kemenangan Anies Baswedan yang diperlukan dan bagaimana menciptakan keadilan coattail effect adalah konstrain untuk didiskusikan bersama. Jika Anies memilih Agus Yudhoyono sebagai wakil, tentunya akan memberikan tambahan elektabilitas. Itu tidak perlu diragukan lagi.

Jika elektabilitas bertambah dan dirasa cukup dengan mencari cawapres dari lingkungan internal, maka kehadiran Khofifah dari eksternal parpol koalisi, tentunya tidak menjadi faktor signifikan pada pengambilan keputusan bersama koalisi. Seperti “The Three Musketeers”, parpol ini bisa mengatakan “all for one and one for all”.

Bagaimana efek kemenangan parpol? Dari sisi parpol kita mengetahui bahwa pengaruh figur capres/cawapres bagi PKS lebih sedikit efeknya. Sebab PKS adalah partai dakwah, yang perjalanannya bersifat kontinuitas, tidak tergantung pemilu. Sebaliknya, Nasdem dan PD sangat membutuhkan figur capres cawapres.